Wednesday, February 29, 2012

BUKAN RAHASIA



Oleh: Hendrasyah Putra

“Bukan rahasia bila segenggam kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang kebenaran”
 “Bukan rahasia bila penguasa pun bisa merubah sejarah dan memutar balikkan fakta” (dewa19-Bukan Rahasia)

Sebelum memejamkan mata tadi malam, entah mengapa saya jadi teringat dengan sebuah lagu band favorit saya. “Bukan Rahasia”, sebuah lagu yang pernah populerkan oleh dewa 19 ini mengingatkan saya pada realitas yang ada.
Realitas adalah kenyataan yang terbalik, begitulah kira-kira seperti apa yang pernah disampaikan oleh seorang pemikir Jerman. Tesis ini kiranya kini begitu mengena dengan konteks Indonesia yang kekinian dimana realitas yang ada begitu terbalik dengan kata-kata indah yang tertuang dalam konstitusi.

Makelar: Bukan Rahasia Yang Tak Terungkap
“Ini negeri para makelar”, begitulah kira-kira pendapat Sutradara Garin Nugroho mengomentari kondisi indonesia dalam konteks kekinian yang termuat dalam kompas.com. pada 12 Januari 2012 yang lalu.
Dalam pemberitaan itu, Garin Nugroho juga mengomentari sinisme oknum-oknum tertentu tentang mobil Esemka yang belakangan menjadi perhatian kita tentang mimpi mobil nasional.
Dalam pemberitaan tersebut, Garin mengatakan ”Jadi, jangan heran kalau munculnya mobil Esemka itu kemudian ditanggapi dengan sinis oleh sebagian kalangan elite politik dan pengusaha. Mereka yang sudah terbiasa mendapat fee dari kegiatan makelarnya,”. “Wabah makelar, membuat kegiatan produktif di Indonesia kian langka. Elite politik lebih suka mengimpor barang dari luar negeri karena bakal mendapat fee”.
Pendapat Garin memang begitu sinis, walaupun tanpa bukti tetapi kiranya begitulah gambaran yang Ia dapat dari pengalaman dan pengamatannya. Secara empiris masalah makelar emang bukan menjadi rahasia umum, akan tetapi negeri yang mengatasnamakan hukum ini akan selalu menjunjung tinggi prosedur berhukum yang mengutamakan praduga tidak bersalah yang berujung kepada kata-kata "apakah sudah ada putusan dari pengadilan yang menyatakan hal itu memang bersalah atau tidak".
Ihwal ini kiranya mengingatkan saya pada tahun 2005 ketika mengikuti seminar mahasiswa hukum se-Kalimantan Barat yang diadakan oleh BEM Fakultas Hukum Untan. Kegiatan yang menghadirkan para pakar dari Universitas Indonesia itu sebenarnya masih menyisakan sebuah rasa ketidakpuasaan yang tak berujung.
Dalam kegiatan tersebut, saya memang tidak begitu sependapat dengan salah seorang pakar yang ingin merubah kurikulum fakultas hukum, karena baginya hal itulah yang menyebabkan bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
Ketidakpuasaan itu sendiri berawal dari pendapat sang pakar yang bagi saya tidak mau melihat realitas yang ada. Saya memang lupa nama pakar hukum wanita yang memberikan materi ketika itu.
Pada kesempatan itu, tanpa malu-malu saya mengkritisi perkrutan penegak aparat pemerintah khususnya di bidang hukum yang begitu bobrok. Tanpa bukti tertulis dan hanya berdasarkan modal pengalaman empiris, pendapat saya tentang buruknya penegakan hukum yang dimulai dengan perekrutan yang lebih memilih uang daripada otak begitu mudah dipatahkan.
Ketika itu sang pakar pun memberikan sebuah umpan balik kepada peserta yang lain, khususnya para peserta yang mewakili institusi penegak hukum. Dengan gampangnya pendapat saya tadi dimentahkan dengan jawaban “tidak ada hal-hal seperti itu”.
Dan akhirnya seminar hukum tersebut kembali membahas dan mendiskusikan tentang perubahan substansi (kurikulum) dan struktur (lembaga penunjang) yang harus diperbaharui atau dibuat baru.
Ah sudahlah, saya pun ketika itu dengan emosi yang begitu meluap-luap dihati, dan dengan egoisnya saya menyimpulkan bahwa seminar yang diadakan itu tak beda dengan sebuah kosmetik, hanya untuk mempercantik, tapi “kita” tidak serius untuk memperbaiki negara ini. Ketika itu dalam pikiran hanya berisi “mengapa ketika ada forum yang membahas tentang penegakan hukum ini kita malah malu membuka borok yang sebetulnya itu sudah bukan menjadi rahasia??” “Tidak adakah yang mau berbicara masalah Moral (kultur)??”

Integritas: Hanya Bagi Sang Pemimpi
“Tolol” begitulah isi status akun sosial milik sahabat saya. Dalam akun sosial tersebut berisikan ungkapan kekesalan yang ditujukannya pada “oknum” tertentu yang ingin secara “legal formal” mengeruk uang negara untuk kepentingan pribadinya.
Pada status yang dibuat itu, saya juga menyempatkan diri untuk memberi sebuah komentar. Komentar yang saya berikan begitu pendek, “biasa itu di indo” isi komentar saya pada akun sosial itu. Hanya selang 3-4 menit kemudian peringatan balasan muncul untuk mengingatkan  akan adanya komentar baru.
“Kita ganti jadi tak biasa nanti”, itulah isi komentar baru yang dituliskan oleh sahabat saya. Melihat hal ini saya pun segera membalas komentar tersebut dengan “saya suka nih sama semangat yang seperti ini. Mudah-mudahan ga hilang ditelan aras berfikir masyarakat”. Dalam konteks seperti ini, tentunya menguatkan dan mengangkat semangat orang yang memiliki “integritas” kiaranya cukuplah untuk menjadi sedikit obat bagi yang hatinya terluka oleh perilaku buruk itu.
Yang menjadi pertanyaan saya sekarang ialah, sampai kapan orang-orang seperti ini akan tetap ada dan bertahan jika kita tidak mengangkat dan mendukung mereka? Ihwal ini kiranya kembali memicu rasa kecurigaan saya tentang orang-orang Indonesia yang kuliah keluar negeri, tetapi enggan untuk kembali ke Indonesia.
Kebutuhan fisiologis (dasar), Kebutuhan akan rasa aman, Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, Kebutuhan untuk dihargai dan Kebutuhan untuk aktualisasi diri seperti apa yang telah di ungkap Abraham Maslow kiranya sedikit banyak bisa menjawab fenomena ini.
Dalam konteks Indonesia yang kekinian, tentunya manusia-manusia Indonesia yang berkualitas serta memiliki Integritas lebih memilih tempat atau negara yang mau menampung dan menghargai kualitas serta integritas yang dimiliki. Orang yang memiliki kualitas serta integritas hanya hidup di alam mimpi jika terus bertahan di negeri ini, walaupun saya tidak menutup mata “jika ada sebagian kecil” orang-orang seperti ini yang masih bertahan dan menduduki posisi-posisi penting.
Dalam konteks ini, saya rasa kita tidak bisa menyalahkan orang Indonesia yang memilih jalan seperti itu. Alasan nasionalisme tidaklah cukup untuk memenuhi lima kebutuhan seperti apa yang telah diungkap oleh Abraham Maslow.
Memang realitas menjadi kenyataan yang terbalik. Kini Cerita akan seseorang yang memiliki kualitas dan integritas akan dikatakan sebagai pemimpi jika hidup di negeri ini. Kini talenta-talenta Indonesia yang luar biasa diberbagai bidang hanya sekedar seonggok pemanis berita di kolom media cetak. Kini banyak cerita-cerita sukses tentang orang Indonesia diluar negeri, tetapi begitu bertolak belakang dengan prestasi dan perkembangan negara asalnya.
Kelak, jangan bingung jika dilembaga-lembaga tertentu Indonesia akan kelagapan mencari sosok yang berkualitas serta memiliki Integritas. Semoga pilihan “naturalisasi” tidak menjadi “jalan pintas” para penguasa negeri ini.

Apalah Artinya Konstitusi
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya apa lah arti sebuah konstitusi yang selalu di bacakan ketika upacara atau hari-hari besar dilangsungkan? Bagaimana menurut pendapat anda? Apakah konstitusi hanya menjadi bagian dari ritual untuk memenuhi proses hari-hari besar atau upacara? Ataukah itu sebuah cita-cita luhur bangsa yang menjadi landasan dasar kita membangun negeri ini?
Untuk itu di akhir tulisan ini saya sengaja mengutip pendapat Soedjatmoko. Menurut pendapatnya “Konstitusi yang dibuat hanya memiliki arti, bila warga negara yang diikat oleh konstitusi itu menghayati, meyakini, menyadari, dan berani mempertahankan konstitusi itu sendiri. Tanpa itu, semua kata dalam konstitusi adalah kosong belaka”.



2 comments: