Oleh: Hendrasyah Putra
“Bukan rahasia bila
segenggam kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang kebenaran”
“Bukan rahasia bila penguasa pun bisa merubah
sejarah dan memutar balikkan fakta” (dewa19-Bukan Rahasia)
Sebelum memejamkan mata tadi malam, entah
mengapa saya jadi teringat dengan sebuah lagu band favorit saya. “Bukan Rahasia”,
sebuah lagu yang pernah populerkan oleh dewa 19 ini mengingatkan saya pada
realitas yang ada.
Realitas adalah kenyataan yang terbalik,
begitulah kira-kira seperti apa yang pernah disampaikan oleh seorang pemikir
Jerman. Tesis ini kiranya kini begitu mengena dengan konteks Indonesia yang
kekinian dimana realitas yang ada begitu terbalik dengan kata-kata indah yang tertuang dalam
konstitusi.
Makelar: Bukan Rahasia Yang Tak Terungkap
“Ini negeri para makelar”, begitulah
kira-kira pendapat Sutradara Garin Nugroho mengomentari kondisi indonesia dalam
konteks kekinian yang termuat dalam kompas.com. pada 12 Januari 2012 yang lalu.
Dalam pemberitaan itu, Garin Nugroho juga
mengomentari sinisme oknum-oknum tertentu tentang mobil Esemka yang belakangan
menjadi perhatian kita tentang mimpi mobil nasional.
Dalam pemberitaan tersebut, Garin
mengatakan ”Jadi, jangan heran kalau munculnya mobil Esemka itu kemudian
ditanggapi dengan sinis oleh sebagian kalangan elite politik dan pengusaha.
Mereka yang sudah terbiasa mendapat fee dari kegiatan makelarnya,”. “Wabah
makelar, membuat kegiatan produktif di Indonesia kian langka. Elite politik
lebih suka mengimpor barang dari luar negeri karena bakal mendapat fee”.
Pendapat Garin memang begitu sinis,
walaupun tanpa bukti tetapi kiranya begitulah gambaran yang Ia dapat dari
pengalaman dan pengamatannya. Secara empiris masalah makelar emang bukan
menjadi rahasia umum, akan tetapi negeri yang mengatasnamakan hukum ini akan
selalu menjunjung tinggi prosedur berhukum yang mengutamakan praduga tidak
bersalah yang berujung kepada kata-kata "apakah sudah ada putusan dari pengadilan yang menyatakan hal itu memang bersalah atau tidak".
Ihwal ini kiranya mengingatkan saya pada
tahun 2005 ketika mengikuti seminar mahasiswa hukum se-Kalimantan Barat yang
diadakan oleh BEM Fakultas Hukum Untan. Kegiatan yang menghadirkan para pakar
dari Universitas Indonesia itu sebenarnya masih menyisakan sebuah rasa
ketidakpuasaan yang tak berujung.
Dalam kegiatan tersebut, saya memang tidak
begitu sependapat dengan salah seorang pakar yang ingin merubah kurikulum fakultas hukum,
karena baginya hal itulah yang menyebabkan bobroknya penegakan hukum di
Indonesia.
Ketidakpuasaan itu sendiri berawal dari pendapat
sang pakar yang bagi saya tidak mau melihat realitas yang ada. Saya memang lupa
nama pakar hukum wanita yang memberikan materi ketika itu.
Pada kesempatan itu, tanpa malu-malu saya
mengkritisi perkrutan penegak aparat pemerintah khususnya di bidang hukum yang
begitu bobrok. Tanpa bukti tertulis dan hanya berdasarkan modal pengalaman
empiris, pendapat saya tentang buruknya penegakan hukum yang dimulai dengan
perekrutan yang lebih memilih uang daripada otak begitu mudah dipatahkan.
Ketika itu sang pakar pun memberikan
sebuah umpan balik kepada peserta yang lain, khususnya para peserta yang
mewakili institusi penegak hukum. Dengan gampangnya pendapat saya tadi
dimentahkan dengan jawaban “tidak ada hal-hal seperti itu”.
Dan akhirnya seminar hukum tersebut kembali
membahas dan mendiskusikan tentang perubahan substansi (kurikulum) dan struktur
(lembaga penunjang) yang harus diperbaharui atau dibuat baru.
Ah sudahlah, saya pun ketika itu dengan
emosi yang begitu meluap-luap dihati, dan dengan egoisnya saya menyimpulkan
bahwa seminar yang diadakan itu tak beda dengan sebuah kosmetik, hanya untuk
mempercantik, tapi “kita” tidak serius untuk memperbaiki negara ini. Ketika itu
dalam pikiran hanya berisi “mengapa
ketika ada forum yang membahas tentang penegakan hukum ini kita malah malu
membuka borok yang sebetulnya itu sudah bukan menjadi rahasia??” “Tidak adakah yang mau berbicara masalah
Moral (kultur)??”
Integritas: Hanya Bagi Sang Pemimpi
“Tolol” begitulah isi status akun
sosial milik sahabat saya. Dalam akun sosial tersebut berisikan ungkapan
kekesalan yang ditujukannya pada “oknum” tertentu yang ingin secara “legal
formal” mengeruk uang negara untuk kepentingan pribadinya.
Pada status yang dibuat itu, saya juga
menyempatkan diri untuk memberi sebuah komentar. Komentar yang saya berikan
begitu pendek, “biasa itu di indo” isi komentar saya pada akun sosial itu.
Hanya selang 3-4 menit kemudian peringatan balasan muncul untuk
mengingatkan akan adanya komentar baru.
“Kita ganti jadi tak biasa nanti”, itulah
isi komentar baru yang dituliskan oleh sahabat saya. Melihat hal ini saya pun
segera membalas komentar tersebut dengan “saya suka nih
sama semangat yang seperti ini. Mudah-mudahan ga hilang ditelan aras berfikir
masyarakat”. Dalam konteks seperti ini, tentunya menguatkan dan mengangkat
semangat orang yang memiliki “integritas” kiaranya cukuplah untuk menjadi
sedikit obat bagi yang hatinya terluka oleh perilaku buruk itu.
Yang menjadi
pertanyaan saya sekarang ialah, sampai kapan orang-orang seperti ini akan tetap
ada dan bertahan jika kita tidak mengangkat dan mendukung mereka? Ihwal ini kiranya kembali memicu rasa
kecurigaan saya tentang orang-orang Indonesia yang kuliah keluar negeri, tetapi
enggan untuk kembali ke Indonesia.
Kebutuhan fisiologis (dasar), Kebutuhan akan rasa aman, Kebutuhan untuk dicintai
dan disayangi, Kebutuhan untuk dihargai dan Kebutuhan untuk aktualisasi diri
seperti apa yang telah di ungkap Abraham Maslow kiranya sedikit banyak bisa
menjawab fenomena ini.
Dalam konteks Indonesia yang kekinian,
tentunya manusia-manusia Indonesia yang berkualitas serta memiliki Integritas
lebih memilih tempat atau negara yang mau menampung dan menghargai kualitas
serta integritas yang dimiliki. Orang yang memiliki kualitas serta integritas
hanya hidup di alam mimpi jika terus bertahan di negeri ini, walaupun saya
tidak menutup mata “jika ada sebagian kecil” orang-orang seperti ini yang masih
bertahan dan menduduki posisi-posisi penting.
Dalam konteks ini, saya rasa kita tidak
bisa menyalahkan orang Indonesia yang memilih jalan seperti itu. Alasan
nasionalisme tidaklah cukup untuk memenuhi lima kebutuhan seperti apa yang
telah diungkap oleh Abraham Maslow.
Memang realitas menjadi kenyataan yang
terbalik. Kini Cerita akan seseorang yang memiliki kualitas dan integritas akan
dikatakan sebagai pemimpi jika hidup di negeri ini. Kini talenta-talenta Indonesia
yang luar biasa diberbagai bidang hanya sekedar seonggok pemanis berita di
kolom media cetak. Kini banyak cerita-cerita sukses tentang orang Indonesia
diluar negeri, tetapi begitu bertolak belakang dengan prestasi dan perkembangan
negara asalnya.
Kelak, jangan bingung jika
dilembaga-lembaga tertentu Indonesia akan kelagapan mencari sosok yang
berkualitas serta memiliki Integritas. Semoga pilihan “naturalisasi” tidak
menjadi “jalan pintas” para penguasa negeri ini.
Apalah Artinya Konstitusi
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati.
Sebenarnya apa lah arti sebuah konstitusi yang selalu di bacakan ketika upacara
atau hari-hari besar dilangsungkan? Bagaimana menurut pendapat anda? Apakah
konstitusi hanya menjadi bagian dari ritual untuk memenuhi proses hari-hari
besar atau upacara? Ataukah itu sebuah cita-cita luhur bangsa yang menjadi
landasan dasar kita membangun negeri ini?
Untuk itu di akhir tulisan ini saya
sengaja mengutip pendapat Soedjatmoko. Menurut pendapatnya “Konstitusi yang dibuat hanya memiliki arti,
bila warga negara yang diikat oleh konstitusi itu menghayati, meyakini,
menyadari, dan berani mempertahankan konstitusi itu sendiri. Tanpa itu, semua
kata dalam konstitusi adalah kosong belaka”.
dan bukan rahasia lagi indonesia kalah 10-0 melawan bahrain...
ReplyDeleteOOT
he he he... kalo itu.....
ReplyDelete