Tuesday, February 14, 2012

SIAPA DULU BAPAKNYA



Oleh: Hendrasyah Putra

Sebenarnya saya agak sedikit malas bercerita tentang hukum di negeri ini. Mungkin rasa malas ini sebagaimana seperti pembaca sekalian rasakan tentang pergelutan hukum di Indonesia yang penuh dengan intrik dan hanya menjadi sebuah sinetron ”ala” Indonesia yang sangat mudah ditebak jalan ceritanya.
Dalam tulisan kali ini, sejatinya tulisan ini terinspirasi dari sebuah tulisan pendek pada sebuah blog sahabat saya Slamet Riyadi. Blog yang beralamat www.slamsr.com ini setidaknya bisa merenggut keterfokusan saya ketika sibuk membaca buku.
Tulisan Pendek yang berjudulkan ”The Punhiser – Ketika hukum tidak Punya taji” begitu menarik perhatian saya. Pada awalnya saya kira tulisan pendek tersebut menceritakan tentang film yang bertemakan pembalasan dendam oleh seseorang yang sanak keluarganya di bantai oleh komplotan penjahat yang kebal terhadap hukum.
Ketika saya lanjutkan membaca tulisan pendek tersebut, saya malah menemukan sebuah realitas sosial dan tentunya sebuah ide yang begitu membantu saya dalam menulis.
Dalam pada itu, bagi saya, yang membuat tulisan itu menjadi begitu menarik adalah ketika si penulis menuliskan kata-kata ”Gak kebayang andai saja KPK punya pasukan khusus yang beraksi seperti The Punisher ini, apakah masih ada koruptor pencuri uang rakyat yang tidur dengan nyenyak? Eh Saya cuma berandai-andai saja lho!”
Disini tercermin sebuah harapan dan tentunya sebuah “kegeraman” terhadap hukum yang mandul terhadap penjahat-penjahat yang dengan sangat leluasa bersiliweran di negeri ini.
Diakhir tulisan pendek itu, saya tertawa geli ketika memutar sebuah video  berjudul “saran untuk sby” yang berdurasi sepuluh menit satu detik yang di share dari sebuah media unggah .
Video itu sendiri di unggah oleh akun blontankpoer pada 2 Januari 2012 lalu. Secara garis besar, isi video tersebut berisikan Saran kepada Presiden Yudhoyono agar mengambil langkah strategis, mengumumkan negara dalam keadaan darurat, dalam rangka memerangi korupsi dan memberi efek jera abadi. Rakyat disuruh menangkap sendiri para koruptor, lalu dipenjarakan tanpa proses peradilan konvensional.
Mengerikan memang, tapi walaupun demikian, saya melihat ekpresi diri dalam sebuah video itu hanya berupa sebuah ungkapan kekecewaan terhadap penegakan “keadilan” yang sangat meluakai rasa keadilan masyarakat dengan mengatasnamakan hukum.
Kasus plesiran Gayus, baby sitter yang diabwa oleh Artalita Suriyani (Ayin) kedalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) serta fasilitas ruangan lapas yang sangat mewah menjadikan pemangkasan hak-hak terhadap orang yang telah merugikan masyarakat banyak tersebut menjadi hilang.
Pada titik ini, saya jadi teringat pada sebuah cerita almarhum dosen saya Bapak Rousdy Said. Ketika semasa kuliah dulu, beliau pernah menceritakan tentang pengalaman pribadinya ketika berkendara di Kota Pontianak.
Ketika itu pihak yang berwajib tengah mengadakan rajia lalu-lintas. Sebagaimana kita ketahui, semua pengendara kendaraan bermotor diwajibkan berhenti untuk diperiksa kelengkapan kendaraannya beserta surat-surat seperti SIM dan STNK.
Dalam cerita itu, beliau juga ikut berhenti untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang taat hukum. Ketika hendak diperiksa oleh pihak berwajib, ternyata salah seorang pihak berwajib kenal dengan beliau. Maka tak perlu waktu lama dan tanpa pemeriksaan kelengkapan kendaraan bermotor, beliau dapat segera melanjutkan perjalanan.
Pengalaman pribadi almarhum dosen saya ini juga sebenarnya bukanlah sebuah anomali. Dengan meminjam istilah almarhum Prof Satjipto Rahardjo Fakta sosial yang muncul ini menunjukan bahwa penegakan hukum kita berada pada tataran “equality before the law tapi siapa dulu Bapaknya”.
Ya, siapa dulu Bapaknya, adagium ini setidaknya bisa sedikit banyak menjelaskan kasus yang menimpa Rasminah. Mantan terdakwa kasus pencurian piring, daging, dan baju bekas ini ternyata secara “tidak mengejutkan bagi saya”, oleh Kejaksaan sedang diajukan upaya hukum Kasasi.
Saya akui bahwa, hukum acara pidana Indonesia memang mengatur upaya tersebut. Akan tetapi, kita sekalian tidak bisa menutup mata terhadap fakta-fakta sosial yang muncul dimasyarkat. Ketimpangan-ketimpangan seperti ini tentunya tidak akan bisa dijelaskan dengan pemahaman ilmu hukum (positivisme) yang berdasarkan atas text-text undang-undang saja.
Untuk memahami fenomena ini, diperlukan sebuah mata pisau bedah lain selain text-text undang-undang tersebut. Pemahaman atas akar budaya, psikologis, anthtopology, sosiologi, ekonomi dan politik tentunya akan sangat membantu untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang sangat unik dimasyarakat.
Hukum pidana yang sebagaimana kita ketahui tidak ada istilah damai tersebut tentunya tidak akan mampu memhami “kosmologi” masyarakat Indonesia yang begitu plural. Ihwal ini menjadi penting untuk kita agar bisa melihat pergesaran konteks hukum yang dahulu ditujukan untuk mengejar keadilan dan kini bergeser kepada hukum yang hanya sebatas prosedural saja.
Hukum yang hanya sebatas prosedural saja yang kini sering kali muncul dan melukai rasa keadilan masyarakat seperti pada kasus A’al dalam pencurian sandal, plesiran Gayus, kasus Rasminah sesungguhnya bisa berdampak buruk. Menurut hemat saya, hukum yang seperti ini dapat memicu munculnya “punisher-punisher” di dalam masyarakat.
Dengan meminjam istilah pada pemberitaan Dailymail pada beberapa waktu yang lalu, “berimajinasi secara ekstrem” seperti apa yang disampaikan oleh akun blontankpoer dalam video tersebut bukan tak mungkin terjadi. Untuk sekedar mengingatkan kita semua, bukankah sejarah telah membuktikan bahwa ketika pada tahun 1998 yang lalu, kita di tunjukan dengan aksi  “people power” atau juga punhiser (versi saya) yang merubuhkan kemapanan rezim yang tidak bisa memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.Bukankah sejarah bukan tak mungkin terulang??

4 comments: