Oleh: Hendrasyah Putra
Sebenarnya saya agak sedikit malas bercerita
tentang hukum di negeri ini. Mungkin rasa malas ini sebagaimana seperti pembaca
sekalian rasakan tentang pergelutan hukum di Indonesia yang penuh dengan intrik
dan hanya menjadi sebuah sinetron ”ala” Indonesia yang sangat mudah ditebak
jalan ceritanya.
Dalam tulisan kali ini, sejatinya tulisan ini terinspirasi
dari sebuah tulisan pendek pada sebuah blog sahabat saya Slamet Riyadi. Blog
yang beralamat www.slamsr.com ini setidaknya bisa merenggut keterfokusan
saya ketika sibuk membaca buku.
Tulisan Pendek yang berjudulkan ”The Punhiser –
Ketika hukum tidak Punya taji” begitu menarik perhatian saya. Pada awalnya saya
kira tulisan pendek tersebut menceritakan tentang film yang bertemakan
pembalasan dendam oleh seseorang yang sanak keluarganya di bantai oleh
komplotan penjahat yang kebal terhadap hukum.
Ketika saya lanjutkan membaca tulisan pendek
tersebut, saya malah menemukan sebuah realitas sosial dan tentunya sebuah ide
yang begitu membantu saya dalam menulis.
Dalam pada itu, bagi saya, yang membuat tulisan
itu menjadi begitu menarik adalah ketika si penulis menuliskan kata-kata ”Gak kebayang andai saja KPK punya pasukan
khusus yang beraksi seperti The Punisher ini, apakah masih ada koruptor pencuri
uang rakyat yang tidur dengan nyenyak? Eh Saya cuma berandai-andai saja lho!”
Disini tercermin sebuah harapan dan tentunya
sebuah “kegeraman” terhadap hukum yang mandul terhadap penjahat-penjahat yang
dengan sangat leluasa bersiliweran di negeri ini.
Diakhir tulisan pendek itu, saya tertawa geli
ketika memutar sebuah video berjudul
“saran untuk sby” yang berdurasi sepuluh menit satu detik yang di share dari
sebuah media unggah .
Video itu sendiri di unggah oleh akun blontankpoer pada 2 Januari 2012 lalu. Secara garis besar, isi
video tersebut berisikan Saran kepada Presiden Yudhoyono agar mengambil langkah
strategis, mengumumkan negara dalam keadaan darurat, dalam rangka memerangi
korupsi dan memberi efek jera abadi. Rakyat disuruh menangkap sendiri para
koruptor, lalu dipenjarakan tanpa proses peradilan konvensional.
Mengerikan memang, tapi walaupun demikian, saya
melihat ekpresi diri dalam sebuah video itu hanya berupa sebuah ungkapan
kekecewaan terhadap penegakan “keadilan” yang sangat meluakai rasa keadilan
masyarakat dengan mengatasnamakan hukum.
Kasus plesiran Gayus, baby sitter yang diabwa oleh
Artalita Suriyani (Ayin) kedalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) serta fasilitas
ruangan lapas yang sangat mewah menjadikan pemangkasan hak-hak terhadap orang
yang telah merugikan masyarakat banyak tersebut menjadi hilang.
Pada titik ini, saya jadi teringat pada sebuah
cerita almarhum dosen saya Bapak Rousdy Said. Ketika semasa kuliah dulu, beliau
pernah menceritakan tentang pengalaman pribadinya ketika berkendara di Kota
Pontianak.
Ketika itu pihak yang berwajib tengah mengadakan
rajia lalu-lintas. Sebagaimana kita ketahui, semua pengendara kendaraan
bermotor diwajibkan berhenti untuk diperiksa kelengkapan kendaraannya beserta
surat-surat seperti SIM dan STNK.
Dalam cerita itu, beliau juga ikut berhenti untuk
memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang taat hukum. Ketika hendak
diperiksa oleh pihak berwajib, ternyata salah seorang pihak berwajib kenal dengan
beliau. Maka tak perlu waktu lama dan tanpa pemeriksaan kelengkapan kendaraan
bermotor, beliau dapat segera melanjutkan perjalanan.
Pengalaman pribadi almarhum dosen saya ini juga
sebenarnya bukanlah sebuah anomali. Dengan meminjam istilah almarhum Prof
Satjipto Rahardjo Fakta sosial yang muncul ini menunjukan bahwa penegakan hukum
kita berada pada tataran “equality before the law tapi siapa dulu Bapaknya”.
Ya, siapa dulu Bapaknya, adagium ini setidaknya
bisa sedikit banyak menjelaskan kasus yang menimpa Rasminah. Mantan terdakwa
kasus pencurian piring, daging, dan baju bekas ini ternyata secara “tidak
mengejutkan bagi saya”, oleh Kejaksaan sedang diajukan upaya hukum Kasasi.
Saya akui bahwa, hukum acara pidana Indonesia
memang mengatur upaya tersebut. Akan tetapi, kita sekalian tidak bisa menutup
mata terhadap fakta-fakta sosial yang muncul dimasyarkat.
Ketimpangan-ketimpangan seperti ini tentunya tidak akan bisa dijelaskan dengan
pemahaman ilmu hukum (positivisme) yang berdasarkan atas text-text
undang-undang saja.
Untuk memahami fenomena ini, diperlukan sebuah
mata pisau bedah lain selain text-text undang-undang tersebut. Pemahaman atas
akar budaya, psikologis, anthtopology, sosiologi, ekonomi dan politik tentunya
akan sangat membantu untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang sangat unik
dimasyarakat.
Hukum pidana yang sebagaimana kita ketahui tidak
ada istilah damai tersebut tentunya tidak akan mampu memhami “kosmologi”
masyarakat Indonesia yang begitu plural. Ihwal ini menjadi penting untuk kita
agar bisa melihat pergesaran konteks hukum yang dahulu ditujukan untuk mengejar
keadilan dan kini bergeser kepada hukum yang hanya sebatas prosedural saja.
Hukum yang hanya sebatas prosedural saja yang kini
sering kali muncul dan melukai rasa keadilan masyarakat seperti pada kasus A’al dalam pencurian sandal, plesiran
Gayus, kasus Rasminah sesungguhnya bisa berdampak buruk. Menurut hemat
saya, hukum yang seperti ini dapat memicu munculnya “punisher-punisher” di
dalam masyarakat.
Dengan meminjam istilah pada pemberitaan Dailymail
pada beberapa waktu yang lalu, “berimajinasi secara ekstrem” seperti apa yang
disampaikan oleh akun blontankpoer
dalam video tersebut bukan tak mungkin terjadi. Untuk sekedar mengingatkan kita
semua, bukankah sejarah telah membuktikan bahwa ketika pada tahun 1998 yang lalu, kita di tunjukan dengan aksi
“people power” atau juga punhiser (versi saya) yang merubuhkan kemapanan rezim yang tidak bisa memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.Bukankah sejarah bukan tak mungkin terulang??
Nice artikel gan....
ReplyDeleteLanjutkan gan, jangan bosen gan !!!
okay. thkans gan
ReplyDeleteralat
ReplyDeleteblogku jenenge slamsr.com hen *keplak*
waduh, sory slam. soalnya yang ada di kepala cuma slamdaunk itu.. he he
ReplyDelete