Monday, January 30, 2012

The Have Versus The Have Not



Oleh: Hendrasyah Putra

Ada tamu dari Jakarta
Saya sempat kaget ketika membaca status teman pada akun jejaring sosialnya. Dalam satus itu ia menceritakan  bahwa dia terpaksa tidak lagi bisa menikamti secangkir “kopi pancong” di Jalan Hijas, hal ini dikarekan “ada tamu dari Jakarta” yang mau datang ke warung kopi itu.
Sepertinya kata-kata “ada tamu dari Jakarta” tersebut begitu sakti, sehingga teman-teman saya ini terpaksa menyingkir dan meninggalkan warung kopi tersebut.
Saya tidak begitu heran melihat fenomena ini. Dalam konteks Indonesia yang kekinian, memang hal ini sedikit banyak bisa menjelaskan bahwa di negeri ini pembagian kelas-kelas dalam masyarakat begitu jelas. Secara garis besar, pengalaman rekan saya diatas menggambarkan golongan “the have” memiliki kemampuan untuk menyingkirkan golongan “the have not”.
Antara delapan juta dan dua ratus ribu rupiah
Kenyamanan Sosial bagi seluruh golongan “the have” makin menyeruak ketika pada Jumat lalu, tepatnya 27 januari 2012  di Jakarta diadakan peluncuran smartphone tertentu yang harganya mencapai delapan juta hingga sembilan juta rupiah. Walaupun harga smartphone tersebut tergolong cukup tinggi, tetapi antrian golongan “the have” untuk mendapatkan smartphone keluaran terbaru tersebut begitu panjang.
Disisi lain, tak jauh dari antrian smartphone tersebut, ribuan buruh melakukan aksi demontrasi  demi menaikan upah yang dianggap kurang memanusiakan buruh. Perjuangan ini begitu berat, ribuan buruh ini menempuh cara dengan berdemontrasi dan dengan cara paksa memasuki jalan Tol dengan menggunakan kendaraan roda dua. Cara ini dilakukan hanya untuk meminta kenaikan upah sebesar dua ratus ribu rupiah.
Ironi memang, tetapi inilah fenomena yang muncul dinegeri ini dengan Pancasila sebagai dasar negaranya.
Bahasa Indonesia di Paris
Saya semakin prihatin ketika membaca berita pada media online (Republika.co.id) yang berjudul “Mengharukan, Kisah Imam 'Tukang Sampah' di Jakarta Ditayangkan Televisi Inggris BBC”.
Isi dari pemberitaan itu sendiri adalah BBC London membandingkan bagaimana kerja tukang sampah yang dikenal dengan binman di Inggris dengan tukang sampah di Jakarta yang sangat jauh berbeda dilihat dari berbagai segi bahkan kesehatan dan keselamatan.
          Adalah Wilbur Ramirez (yang juga tukang sampah di London) yang melakukan penelitian tentang tukang sampah di Jakarta selama sepuluh hari ini juga ikut serta tinggal dan membantu Imam (tukang sampah asal Jakarta) dalam mengumpulkan sampah. Hal yang mengharukanpun muncul, Wilbur Ramirez tak sanggup untuk menahan rasa sedih, dan akhirnya ia menteskan air mata ketika melihat usaha keras dan resiko yang mengancam Imam .
Membaca berita diatas, saya jadi teringat ketika dahulu saya pernah berdiskusi dengan rekan sejawat saya yang kebetulan hobi membaca buku yang bertemakan gaya hidup dan jalan-jalan. Dalam diskusi itu, rekan saya tersebut menceritakan sebuah Ironi Indonesia di luar negeri, tepatnya di Paris, Perancis.
Paris, salah satu pusat kota mode dunia ini punya cerita sendiri tentang Indonesia. Di kota yang menyediakan segala macam perangkat busana dan tas merk terkenal ini memiliki keunikan tersendiri. Gerai-gerai ternama seperi Gucci, Louis Vuitton, Dolce-Gabbana dan merk ternama lainnya ini ternyata memiliki keunikan. Keunikan dimana pelayan pada gerai-gerai ternama ini cukup fasih berbahasa Indonesia.
Bisa berbahasa Indonesia ini bukan dikarenakan pelayan tersebut tenaga kerja asal Indonesia, tetapi kemampuan bahasa Indonesia yang dimiliki tersebut adalah disebabkan oleh kebanyakan pembeli dan pelanggan merk-merk terkenal tersebut berasal dari Indonesia. Hal ini menyebabkan pengelola gerai tersebut mengeluarkan kebijakan agar pelayan pada gerai tersebut bisa atau mengerti (walaupun sedikit-sedikit) bahasa Indonesia.
Adalah wajar kiranya untuk setiap penjual memikat dan membuat pelangganya merasa betah dan nyaman. Dengan adagium pelanggan adalah raja tentunya merekapun “dipaksa” untuk memhami dan belajar bahasa Indonesia yang tentunya bukan termasuk kedalam bahasa internasional.
Tetap menjadi silent majority
Diatas adalah sekulumit cerita “orang Indonesia” di dalam negeri yang digali dan dipublikasikan oleh orang asing. Mungkin terdengar sangat buruk berita tersebut, tetapi disisi lain bagi para peneliti, Indonesia tentunya menjadi sebuah laboratorium penelitian yang sempurna.
Mengapa saya katakan Indonesia menjadi sebuah laboratorium yang sempurna? Tentunya kita sekalian masih ingat dan mengatahui dasar negara kita Pancasila. Secara tertulis, dasar negara ini memang memiliki tujuan yang mulia, tetapi sangat jauh dari realita yang muncul.
Sila kelima, yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kini kembali digugat dengan keributan yang muncul baru-baru ini tentang biaya yang dihabiskan dalam renovasi toilet dan pembangunan ruang sidang di gedung DPR.
Pada titik ini, saya sempat berfikir, mengapa kebutuhan yang seperti itu yang lebih dahulu dipenuhi. Mengapa kebutuhan akan dihargai dan aktualisasi diri sebagai wakil rakyat yang didahulukan, bukan kebutuhan dasar (fisiologis) rakyat?.
Ihwal ini kembali mengingatkan saya dengan sebuah makalah Prof Satjipto Rahardjo (Prof Tjip) yang berjudul “Kebebasan Ekpresi dan Hak Asasi Manusia” yang tertuang dalam sebuah buku yang berjudul Sosiologi Hukum.  
Disalah satu bagian dari makalah tersebut, Prof Tjip mengatakan “keadaan atau suasana tersebut menggambarkan adanya jurang yang besar antara golongan the haves dan the have not di negeri ini. Menurut beliau ternyata dalil sosiologis tentang golongan menengah keatas memonopoli agenda pembicaraan dan pendapat publik, menjadi lapisan yang genit dan ceriwis, termasuk tentang HAM, sedang massa yang jauh lebih besar menjadi “silent majority".
Dengan melihat Indonesia dalam konteks kekinian, tentunya apa yang diutarakan oleh Pak Tjip tersebut cukup beralasan. Indonesia, sebagaimana kita ketahui memiliki biaya politik yang tinggi, dengan demikian hal ini memiliki korelasi dengan the have yang tentunya mempunyai akses lebih besar dan kuat di bidang ini, sehingga hal ini memicu golongan menengah keatas memonopoli agenda pembicaraan dan pendapat publik karena berada dalam lingkaran kekuasaan.
Hanya menjadi laboratorium
Diakhir tulisan ini, sebenarnya menurut pendapat saya, sangat begitu disayangkan negeri yang kaya akan sumber daya alam ini hanya menjadi lahan yang subur bagi para peniliti dan pengamat politik dunia. Bukanlah menjadi suatu hal yang membanggakan ketika fenomena-fenomena yang diangkat tersebut adalah sebuah keburukan. Dari hati yang paling dalam, sesungguhnya saya menanti berita baik dari negeri ini di luar negeri.

3 comments:

  1. ada dong berita baiknya, mahasiswa kita ada yang mendapatkan penghargaan, pemain bola indonesia ada yang ditaksir klub eropa, tapi ketutup sama berita miring dan pengalihan isu yang disetir oleh media massa yang tentunya didalangi oleh para kaum the have

    ReplyDelete
  2. yups, saya stuju yang baik itu ada. tapi lagi-lagi the have.
    tentunya agan masih ingat dengan kejadian mobil "sapu angin" dari mahasiswa yang terhambat oleh bea cukai itu?.. mungkin jika mereka itu dari golongan the have, mungkin ceritanya akan berbeda

    ReplyDelete