Oleh: Hendrasyah Putra
Ada tamu dari Jakarta
Saya sempat kaget ketika membaca status
teman pada akun jejaring sosialnya. Dalam satus itu ia menceritakan bahwa dia terpaksa tidak lagi bisa menikamti
secangkir “kopi pancong” di Jalan Hijas, hal ini dikarekan “ada tamu dari
Jakarta” yang mau datang ke warung kopi itu.
Sepertinya kata-kata “ada tamu dari Jakarta”
tersebut begitu sakti, sehingga teman-teman saya ini terpaksa menyingkir dan meninggalkan warung kopi tersebut.
Saya tidak begitu heran melihat fenomena
ini. Dalam konteks Indonesia yang kekinian, memang hal ini sedikit banyak bisa
menjelaskan bahwa di negeri ini pembagian kelas-kelas dalam masyarakat begitu
jelas. Secara garis besar, pengalaman rekan saya diatas menggambarkan golongan
“the have” memiliki kemampuan untuk menyingkirkan golongan “the have not”.
Jumat lalu, tepatnya 27 januari 2012 di Jakarta diadakan peluncuran smartphone
tertentu yang harganya mencapai delapan juta hingga sembilan juta rupiah.
Walaupun harga smartphone tersebut tergolong cukup tinggi, tetapi antrian golongan
“the have” untuk mendapatkan smartphone keluaran terbaru tersebut begitu
panjang.
Disisi lain, tak jauh dari antrian
smartphone tersebut, ribuan buruh melakukan aksi demontrasi demi menaikan upah yang dianggap kurang
memanusiakan buruh. Perjuangan ini begitu berat, ribuan buruh ini menempuh cara
dengan berdemontrasi dan dengan cara paksa memasuki jalan Tol dengan
menggunakan kendaraan roda dua. Cara ini dilakukan hanya untuk meminta kenaikan upah sebesar dua ratus ribu rupiah.
Ironi memang, tetapi inilah fenomena yang
muncul dinegeri ini dengan Pancasila sebagai dasar negaranya.
Bahasa Indonesia di Paris
Saya semakin prihatin ketika membaca berita
pada media online (Republika.co.id) yang berjudul “Mengharukan, Kisah Imam
'Tukang Sampah' di Jakarta Ditayangkan Televisi Inggris BBC”.
Isi dari pemberitaan itu sendiri adalah BBC
London membandingkan bagaimana kerja tukang sampah yang dikenal dengan binman
di Inggris dengan tukang sampah di Jakarta yang sangat jauh berbeda dilihat
dari berbagai segi bahkan kesehatan dan keselamatan.
Adalah Wilbur Ramirez (yang juga tukang
sampah di London) yang melakukan penelitian tentang tukang sampah di Jakarta
selama sepuluh hari ini juga ikut serta tinggal dan membantu Imam (tukang sampah asal Jakarta) dalam
mengumpulkan sampah. Hal yang mengharukanpun muncul, Wilbur Ramirez tak sanggup
untuk menahan rasa sedih, dan akhirnya ia menteskan air mata ketika melihat
usaha keras dan resiko yang mengancam Imam .
Membaca berita diatas, saya jadi teringat
ketika dahulu saya pernah berdiskusi dengan rekan sejawat saya yang kebetulan
hobi membaca buku yang bertemakan gaya hidup dan jalan-jalan. Dalam diskusi
itu, rekan saya tersebut menceritakan sebuah Ironi Indonesia di luar negeri,
tepatnya di Paris, Perancis.
Paris, salah satu pusat kota mode dunia ini punya
cerita sendiri tentang Indonesia. Di kota yang menyediakan segala macam
perangkat busana dan tas merk terkenal ini memiliki keunikan tersendiri.
Gerai-gerai ternama seperi Gucci, Louis Vuitton,
Dolce-Gabbana dan merk ternama lainnya ini ternyata memiliki keunikan. Keunikan
dimana pelayan pada gerai-gerai ternama ini cukup fasih berbahasa Indonesia.
Bisa berbahasa Indonesia ini bukan dikarenakan
pelayan tersebut tenaga kerja asal Indonesia, tetapi kemampuan bahasa Indonesia
yang dimiliki tersebut adalah disebabkan oleh kebanyakan pembeli dan pelanggan
merk-merk terkenal tersebut berasal dari Indonesia. Hal ini
menyebabkan pengelola gerai tersebut mengeluarkan kebijakan agar pelayan pada
gerai tersebut bisa atau mengerti (walaupun sedikit-sedikit) bahasa Indonesia.
Adalah wajar kiranya untuk setiap penjual
memikat dan membuat pelangganya merasa betah dan nyaman. Dengan adagium
pelanggan adalah raja tentunya merekapun “dipaksa” untuk memhami dan belajar
bahasa Indonesia yang tentunya bukan termasuk kedalam bahasa internasional.
Tetap menjadi silent majority
Diatas adalah sekulumit cerita “orang Indonesia”
di dalam negeri yang digali dan dipublikasikan oleh orang asing. Mungkin
terdengar sangat buruk berita tersebut, tetapi disisi lain bagi para peneliti,
Indonesia tentunya menjadi sebuah laboratorium penelitian yang sempurna.
Mengapa saya katakan Indonesia menjadi
sebuah laboratorium yang sempurna? Tentunya kita sekalian masih ingat dan
mengatahui dasar negara kita Pancasila. Secara tertulis, dasar negara ini
memang memiliki tujuan yang mulia, tetapi sangat jauh dari realita yang muncul.
Sila kelima, yang berbunyi keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia kini kembali digugat dengan keributan yang muncul
baru-baru ini tentang biaya yang dihabiskan dalam renovasi toilet dan pembangunan
ruang sidang di gedung DPR.
Pada titik ini, saya sempat berfikir,
mengapa kebutuhan yang seperti itu yang lebih dahulu dipenuhi. Mengapa
kebutuhan akan dihargai dan aktualisasi diri sebagai wakil rakyat yang
didahulukan, bukan kebutuhan dasar (fisiologis) rakyat?.
Ihwal ini kembali mengingatkan saya dengan
sebuah makalah Prof Satjipto Rahardjo (Prof Tjip) yang berjudul “Kebebasan
Ekpresi dan Hak Asasi Manusia” yang tertuang dalam sebuah buku yang berjudul
Sosiologi Hukum.
Disalah satu bagian dari makalah tersebut,
Prof Tjip mengatakan “keadaan atau suasana tersebut menggambarkan adanya jurang
yang besar antara golongan the haves dan the have not di negeri ini. Menurut
beliau ternyata dalil sosiologis tentang golongan menengah keatas memonopoli
agenda pembicaraan dan pendapat publik, menjadi lapisan yang genit dan ceriwis,
termasuk tentang HAM, sedang massa yang jauh lebih besar menjadi “silent
majority".
Dengan melihat Indonesia dalam konteks
kekinian, tentunya apa yang diutarakan oleh Pak Tjip tersebut cukup beralasan.
Indonesia, sebagaimana kita ketahui memiliki biaya politik yang tinggi,
dengan demikian hal ini memiliki korelasi dengan the have yang tentunya mempunyai akses lebih besar dan kuat di bidang ini, sehingga hal ini memicu golongan menengah keatas memonopoli agenda pembicaraan
dan pendapat publik karena berada dalam lingkaran kekuasaan.
Hanya menjadi laboratorium
Diakhir tulisan ini, sebenarnya menurut
pendapat saya, sangat begitu disayangkan negeri yang kaya akan sumber daya alam
ini hanya menjadi lahan yang subur bagi para peniliti dan pengamat politik
dunia. Bukanlah menjadi suatu hal yang membanggakan ketika fenomena-fenomena yang
diangkat tersebut adalah sebuah keburukan. Dari hati yang paling dalam,
sesungguhnya saya menanti berita baik dari negeri ini di luar negeri.
ada dong berita baiknya, mahasiswa kita ada yang mendapatkan penghargaan, pemain bola indonesia ada yang ditaksir klub eropa, tapi ketutup sama berita miring dan pengalihan isu yang disetir oleh media massa yang tentunya didalangi oleh para kaum the have
ReplyDeleteyups, saya stuju yang baik itu ada. tapi lagi-lagi the have.
ReplyDeletetentunya agan masih ingat dengan kejadian mobil "sapu angin" dari mahasiswa yang terhambat oleh bea cukai itu?.. mungkin jika mereka itu dari golongan the have, mungkin ceritanya akan berbeda
Nice artikel gan !!!
ReplyDelete