Oleh: Hendrasyah Putra
Menjadi perhatian saya ketika melihat tulisan di papan pengumuman yang bertuliskan ”kerjakan yang kamu tuliskan dan tulislakan yang kamu kerjakan”. Ditempelnya kata-kata mutiara ini mengingatkan saya dengan salah satu konsep HAM (Hak Asasi Manusia) dalam hal kebebasan berekpresi.
Dalam konteks demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia, tentu konsep-konsep kebaikan seperti itu tak ada salahnya untuk dituangkan kedalam sebuah teks.
Uang. Ya uang, lagi lagi uang. Kata-kata ini selalu mengalir dipikiran saya ketika melihat perilaku buruk orang Indonesia yang berseberangan dengan teks yang mereka (atau kita) tuliskan dalam teks-teks indah itu.
Pada akhir tahun 2011 lalu, saya sempat ke Ibu kota negara. Untuk menghemat anggaran, tentu pilihan jasa angkutan Bus Way menjadi pilhan utama saya.
Setahun tak menggunakan jasa angkutan tersebut, perubahan yang signifikan dan ke”khasan” gaya orang Indonesia begitu dominan.
Fasilitas yang disediakan untuk menopang alat angkut tersebut kian memprihatinkan. Pintu otomatis halte yang sudah tidak berfungsi, Pendingin ruangan yang sudah tak dingin lagi serta kerumunan orang-orang yang saling berdesakan untuk masuk ke dalam alat angkut tersebut menjadi pelengkap rasa ke Indonesian alat angkut itu.
Didalam Bus Way, kini ada operator penjaga pintu yang selalu berteriak ”awas kaki anda”, dan tentunya untuk menjaga jargon emansipasi wanita juga diteriakan ”perempuan didepan laki-laki dibelakang".
Saya yang ketika itu masuk dan berada di posisi tengah melihat perilaku yang sudah kental dengan ciri khas Indonesia. Walau sudah diteriakan oleh penjaga pintu bus way, tetap saja perempuan ada yang menempati dibagian belakang dan sebaliknya.
Saya yang berada ditengah, dengan keadaan bergantung dengan berpegang kepada sebuah tiang sempat kaget ketika melihat seorang wanita yang memilih untuk berdiri bergelantungan daripada duduk. Saya sempat bercakap sesaat dengan wanita itu. Ketika itu saya bertanya ”kenapa ga duduk mba?” kemudian wanita itu menjawab ”bau mas, panas”.
Pada awalanya saya mengira penyebab ketidaktertiban itu dikarenakan oleh perilaku acuh-tak acuh terhadap teriakan atau jargon emansipasi wanita tentang daerah khusus wanita dalam Bus Way. Ternyata dalam pengamatan saya kala itu, faktor buruknya infrastruktur menjadi ”salah satu” alasan mengapa wanita dan pria yang menggunakan jasa Bus Way tersebut bertindak semaunya.
Logika saya terus berputar, fenomena kerumunan (dan bukan antre) dalam menanti alat angkut tersebut mengingatkan saya kepada perkataan seorang pemikir amerika yang mengatakan seberapa kuat paksaan terhadap suatu prinsip, perilaku jika tidak sesuai dengan budaya yang ada maka akan sia-sia.
Ihwal ini kembali mengingatkan saya ketika setahun yang lalu tentang kritikan saya terhadap 50 puluh warga Singkawang yang ”merasa” ditipu oleh calo CPNS. Saya sempat berfikir, apakah perilaku korup, rakus, egois dan individualis seperti ini memang sudah menjadi budaya di negeri ini.
Jika memang benar, maka pembentukan Komisi “Pemberantasan” Korupsi selama ini menjadi sia-sia karena sesungguhanya pemberantasan terhadap (budaya) korupsi itu bertentangan dengan budaya di negeri ini.
Secara pribadi saya prihatin melihat fenomena ini. Dan saya makin prihatin ketika menonton acara televisi yang memberitakan tentang pembakaran gedung KPU di Riau. Mungkin “boxing culture” yang pernah diungkapkan oleh Buya Safe’i Ma’arif itu memang benar adanya.
Awalnya saya mengira apa yang disampaikan Buya Safe’i tersebut agak berlebihan karena menggunkan kata ”culture” atau dalam terjemahan bebasnya budaya. Maka jika demikian, dan untuk menterjemahkan Indonesia dalam konteks kekininian (jika boleh) saya juga ingin menggunakan istilah coruption culture, ego culture dan greedy culture.
Ketika saya masih kecil dan hingga dewasa kini, saya masih selalu mendengar pribahasa yang “berbau” kebaikan. Mungkin dengan sekian banyaknya pepatah-petitih tersebut kita lupa dengan keburukan yang bisa ditimbulkan. Keburukan itu mungkin sudah menjadi budaya kita yang munafik atas apa yang kita tuliskan kedalam sebuah teks yang begitu indah.
Kini budaya akan kemunafikan (hypocrite culture) ini tidak sekedar di obral ketika pemilu akan di helat, tetapi sejauh ini dalam pengamatan saya budaya tersebut sudah diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sadar atau tidak tetapi ini sudah menjadi keseharian dan ciri khas bangsa ini. Mungkin tak banyak yang bisa saya tuliskan lagi dan semoga ihwal ini menjadi renungan kita bersama.
Tambah Gambar hen
ReplyDelete( dokumentasi atau ilustrasi ) biar lebih menarik
oke. ide gabus tuh.
ReplyDeleteYap !!! jangan malu-malu lagi mengatakan bahwa budaya2 negatif itu sudah mendarah daging di negri ini. Pilihannya ada 2 , darah-dagingnya di jual kepasar dan pasti ga laku.
ReplyDeleteAtau darah-daging itu digantikan dengan darah-daging segar yang menyehatkan....
Eh ngelantur wkwkwkwkwkw
kek nya emang dibut7uhkan darah-daging segar yang menyehatkan
ReplyDeletethe big questions is who teach and educate the fresh meat doesnt it the old meat so what lesson, education and culture will they get if the old meat teach them so i think brainstorming and discussion between the fresh meat is the important thing because with that we can build this country with same idea.
ReplyDeletesaya kira perubahan itu dimulai dari diri. masih banyak waktu hingga 2040 ketika hutang Indonesia jatuh tempo @_@
ReplyDelete