Oleh: Hendrasyah Putra
Satu minggu ini saya hampir-hampir tak sempat untuk membaca buku dan menulis artikel. Minggu lalu, orang terdekat saya tertimpa musibah. Karena kondisi yang extra ordinary tersebut, maka saya terpaksa harus meninggalkan hobby saya itu.
Sebelum lebih jauh lagi, sejatinya artikel ini terinspirasi oleh teman sejawat saya ketika kami berbicara tentang gadget dan spesifikasi yang ditawarkan. Teman sejawat saya ini pun sempat menceritakan pengalamannya mengapa ia tidak menggunakan smartphone BlackBerry yang kini begitu menjamur. Baginya, ia “tidak cukup rumpi” untuk menggunakan smartphone tersebut.
Mungkin baginya, istilah tidak cukup rumpi tersebut dipakainya untuk menggambarkan fasilitas BlackBerry mesangger yang dimiliki smart phone tersebut.
Istilah tidak cukup rumpi ini mengingatkan saya ketika tahun lalu tentang kisruh persepakbolaan Indonesia. Kisruh itupun memunculkan sebuah guyonan tentang penelitian FIFA terhadap orang Indonesia. Isi dari guyonan penelitian itu sendiri adalah tentang keadaan fisik orang Indonesia dimana kondisi tulang rahang orang Indonesia lebih dominan daripada bagian tubuh yang lainnya. Oleh karena itu, orang Indonesia lebih cocok menjadi komentator sepakbola daripada pemain sepakbola.
Guyonan ini bagi saya memang menggelikan, tetapi disisi lain guyonan ini menggambarkan orang Indonesia yang begitu baik dalam wacana, cantik diatas kertas tetapi selalu buruk dalam perilaku. “Mungkin” karena alasan ini pula smartphone BlackBerry begitu diigemari di negeri ini.
Berbicara selera dalam penggunaan smartphone, rekan saya tadi juga sempat menceritakan pengalamannya ketika berada di Kuala Lumpur. Dalam pengalamannya di Ibu Kota Negara Jiran tersebut, ia melihat alat komunikasi yang menyediakan layanan “rumpi yang ekslusif” tersebut tidak banyak digunakan .
“Mungkin” perbedaan dalam pemilihan smartphone ini juga sedikit banyak dapat menunjukan identitas suatu Negara. Dalam kesempatan kali ini saya sengaja mengutip sebuah perilaku Negara tetangga itu yang tidak hanya berhenti pada ide dan wacana saja. Dalam sebuah makalah Prof Satjipto Rahardjo (Prof Tjip) yang berjudul “Sepuluh Tahun Reformasi Hukum”, disitu dikutip tentang pengalaman Mahathir Muhammad yang tidak mengikuti saran-saran dari Bank Dunia dan IMF untuk memperbaiki kondisi perekonomian Malaysia yang sedang dilanda krisis.
Dalam kutipan tentang Mahathir Muhammad tersebut, diceritakan bahwa mantan Perdana menteri Malaysia tersebut di sebut sebagai orang bodoh dan Malaysia pun dianggap akan segera ambruk. Walaupun di cela dan diremehkan sedemikian rupa, Rupanya Mahathir Muhammad tetap menunjukan ketegasan dan kewibawaannya sebagai Perdana Menteri Malaysia dengan mengatakan “You must be more tolerant of the stupidty of Malaysia. Why not leave us to do the wrong things we want to do.”
Sikap yang ditunjukan oleh Mahatir tersebut ternyata bukanlah hanya omong kosong belaka. Kini kita bisa melihat bahwa negara tetangga kita itu perekonomiannya sudah pulih dan tentunya lebih baik dari Indonesia. Bahkan tanpa kita sadari Malaysia juga sudah melakukan ekspansi dibidang ekonomi dengan menancapkan perusahaan sawit dan menjual mobil-mobil Malaysia di Indonesia.
Bagaimana dengan Indonesia? Tentunya kita sama-sama melihat dan merasakan kondisi Indonesia yang sangat memperhatikan ini. Indonesia yang memilih untuk mengikuti langkah-langkah yang “dibisikan “ oleh IMF dan Bank Dunia kini masih terus berkutat dengan masalah ekonomi yang tak kunjung membaik.
Berbicara tentang ketegasan dan kewibawaan, tentunya kita sekalian masih ingat dengan perkataan Presiden Yudhoyono yang berteriak dengan lantang “akan bekerja 24 jam dan pemerintahan tidak akan tidur. Tetapi apa mau dikata, buruknya pelayanan publik dinegeri ini malah semakin menjadi-jadi sehingga hal ini diakui juga oleh Presiden Yudhoyono yang dituangkannya dalam sebuah curhat pada rapat kabinet di Istana Bogor.
Dalam rapat kabinet tersebut, Presiden Yudhoyono mengeluhkan adanya tiga persoalan yang menjadi penghambat pembangunan. Selain birokrasi, Presiden menyebut persoalan infrastruktur dan korupsi yang menjadi biang permasalahan pembangunan di Indonesia.
Ketika mendengar curhatan Presiden Yudhoyono tersebut, maka bias dikatakan teriakan “akan bekerja 24 jam dan pemerintahan tidak akan tidur” hanya menjadi baik dalam kata-kata, tetapi pada kenyataannya seperti apa yang diakui beliau bahwa “birokrasi juga menjadi penghambat pembangunan”.
Mengenai birokrasi ini, saya sudah beberapa kali memiliki pengalaman buruk ketika harus berurusan dengan birokrasi di negeri ini. Kali ini pengalaman buruk saya kembali terulang. Diatas saya sempat menyinggung tentang kondisi extra ordinary yang saya alami ketika musibah menimpa orang terdekat saya. Dalam kondisi extra ordinary tersebut saya mendapati fenomena yang kiranya sangat melekat dengan identitas Indonesia yang begitu baik dalam ide dan indah diatas kertas (ciri khas birokrasi dinegeri ini).
Fenomena itu sendiri saya jumpai ketika saya harus mengurusi orang terdekat saya itu dengan pelyanan kesehatan di negeri ini. Ketika itu dipikiran saya tak ada lain hanyalah kesembuhan dan pelayanan yang membuat si pasien cepat pulih dari sakitnya.
Melihat orang terdekat saya ini mengeluh kesakitan karena ditelantarkan sayapun mulai bertanya-tanya dengan si pelayan kesehatan tersebut. Ada salah satu perawat yang mengatakan “ini memang prosedurnya”. Sebenarnya saya sedikit bingung, apa benar demikian.
Akhirnya sayapun mencoba bertanya-tanya dan mencari informasi kepada beberapa kenalan saya. Setelah saya bertanya-tanya kepada beberapa kenalan saya yang juga pelayan kesehatan tersebut, mereka ini menganjurkan untuk pindah ke kelas VIP (Very Important Person) agar segera mendapat penanganan. Akhirnya saya dan dua orang saudara saya mengurusi perpindahan kelas tersebut dengan maksud untuk memberikan penanganan yang cepat kepada orang terdekat saya ini dengan jalan meningkatkan kelas ke ruangan VIP.
Ketika sudah mendapati kelas VIP itu, maka “pelayanan terhadap si pasien” pun menjadi berbeda. Dokter dan perawat yang sering kali berkunjung, dan tentunya orang terdekat saya ini segera masuk keruangan operasi, sehingga tidak ada kata-kata terlantar lagi.
Pada titik ini, saya jadi teringat Istilah yang digunakan pemikir Amerika Serikat yang di kutip Prof Tjip dalam tulisan yang termuat dalam beberapa buku beliau. Dalam kutipan itu dikatakan bahwa “jika ingin melihat manusia yang sungguh-sungguh menolong dan menyayangi manusia lainnya maka lihatlah dokter atau perawat”.
Pendapat itu sendiri muncul sebenarnya untuk “menyindir” perilaku rakus pengacara-pengcara di Amerika Serikat yang menolong orang atas dasar tarif yang mampu dibayar oleh si client. Atas dasar kondisi tersebut maka munculah adagium “the have come ahead and the poor pay more”.
Kembali kepada keterfokusan saya terhadap pelayanan kesehatan yang diterima orang terdekat saya itu, dalam konteks Indonesia yang kekinian, maka adagium the have come ahead and the poor pay more” bagi saya akan sangat cocok untuk di “cap” kan kepada pelayanan kesehatan kesehatan di negeri ini.
Stigma yang saya berikan ini bukanlah tanpa alasan. Alasan dimana pengalaman pribadi dan juga pengalaman yang dialami beberapa sahabat saya yang juga diperlakukan tidak seperti manusia karena tidak masuk dalam kelas/strata “Very Important Person” memperkuat stigma itu. Mungkin saya akan memberikan sebuah toleransi jika pelayanan kesehatan itu dilakukan oleh Rumah Sakit Swasta. Tapi sangat menyedihkan bagi saya, karena perlakuan seperti ini diberikan oleh salah satu Rumah Sakit Negeri.
Kekecewaan saya begitu menjadi-jadi ketika saya sedang mengurus perpindahan dari ruangan kelas dua ke kelas VIP. Ketika selagi mengurus perpindahan ruangan tersebut, saya tercengang ketika membaca tulisan dibelakang perawat jaga yang tertempel didinding. Tulisan itu sendiri berisikan Visi dan Misi Rumah Sakit yang begitu indah untuk dibaca tetapi sangat menyakiti jika melihat fenomena yang ada.
Pelayanan kesehatan pun semakin diperburuk dengan tindakan mengakali pasien yang mengalami musibah dengan memberikan peralatan kesehatan tertentu yang harusnya peralatan tersebut ditanggung oleh asuransi (kebetulan kami mengikuti asuransi).
Dalam kondisi ini, saya yang begitu tertarik dengan sosiologi hukum ini tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengamati secara langsung pasien-pasien lainnya yang berada dikelas/strata dibawah VIP. Nasib nya tentu sudah pasti menyedihkan. Dalam kondisi seperti ini, saya kira adagium “orang miskin dilarang sakit” tentunya begitu mewakili dengan realitas yang saya temui.
Mungkin wajar jika Predisen Yudhoyono beberapa yang lalu sempat mengeluh tentang buruknya kondisi birokrasi dan infrastruktur serta korupsi yang begitu menghantui. Jika kita melihat ke Negara Jiran, rasanya kita sudah kalah jauh dalam hal pelayanan kesehatan, infrastruktur apalagi dengan persepakbolaan.
Rasanya penelitian FIFA tentang begitu dominannya tulang rahang orang Indonesia serta kegemaran untuk menggunakan smartphone yang memiliki “fasilitas rumpi” saya kira cukup memberikan kejelasan dan gambaran perilaku orang Indonesia. Oh ya, semoga kita sekalian tergolong dalam golongan orang-orang yang “tidak cukup rumpi”.
nek baca postingane hendra ki kedawan mesti, tapi seneng buat dibaca..
ReplyDeletectrl+D dulu ya hen
iya, kelebihan orang indonesia itu di rahangnya, jadi sangat cocok buat jadi komentator, bukan pemain bola
ReplyDelete#sindiran*
kedawan apaan yo? ora muudeng ini slam. ( he he he)
ReplyDeletekemrn bokap masuk rumash sakit slam, liat pelayananny, kecewa banget. ga matching antara visi dan misi yang di tempel didinding sama kelakuan si pelayan kesehatan itu...