Monday, January 23, 2012

CARA AMAN ALA INDONESIA (Berimajinasi Secara Ekstrem)



Oleh: Hendrasyah Putra

Beberapa waktu yang lalau, ketika saya berselancar didunia maya dan mengunjungi situs berita naional (Republika.co.id, 18 Januari 2012), saya sempat sedikit “sumringah” ketika membaca pemberitaan bahwa Indonesia masuk dalam pemberitaan media luar negeri (Dailymail, Inggris).
Tapi sangat disayangkan, persaan senang itu hanya sesaat, hal ini dikarena apa yang diberitakan tersebut bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan. Dalam pemberitaan tersebut diberitakan tentang bagaimana cara orang Indonesia menyelesaikan masalah penumpang yang naik ke atas Kereta Api Listrik (KRL). Dalam pemberitaan tersebut, Dailymail menceritakan upaya Indonesia dalam mengatasi penumpang nakal tersebut melalui tulisan yang berjudul “Duck! Indonesia suspends grapefruit-sized concrete balls above railway lines to stop 'roof riders”.
Dalam pemberitaan di media nasional tersebut, diberitakan pula tentang pendapat Dailymail, yang baginya Indonesia harus berimajinasi secara “ekstrem” untuk mengatasi para penumpang naik ke atap kereta. Bagi mereka, pihak otoritas mengembangkan taktik yang terkesan sangat intimidatif dan 'mematikan' berupa menggantungkan bola-bola besi di atas lintasan kereta.
Menjadi menarik bagi saya ketika di akhir pemberitaan media nasional tersebut juga menceritakan tentang pendapat atau komentar para pembaca Dailymail yang memberikan respons beragam di antaranya ada yang mempertanyakan mengapa tidak ada kebijakan memberikan tarif yang lebih murah atau memasang paku di atap kereta. Bahkan, ada pula yang terkesan sinis. ''Inilah gaya aman ala Indonesia.''
Selain menjadi laboratorium, bagi saya, apa yang diberitakan oleh media nasional tersebut tentang apa yang diberitakan Dailymail dan juga komentar para pembaca tersebut menjadi sebuah renungan dan tentunya menjadi ide dari tulisan ini.
Cara mengatasi masalah yang dapat penilaian sinis dari media luar ini sesungguhnya mengingatkan saya tentang istilah “extra ordinary”. Mungkin dalam konteks Indonesia yang kekininan, inilah cara luar biasa tersebut, jadi kiranya tak mengherankan pula jika bagi Dailymail bahwa “Indonesia harus berimajinasi secara ekstrem” untuk mengatasi masalah tersebut.
Berbicara tentang “cara aman ala Indonesia” dan “berimajinasi secara ekstrem ala Indonesia” hal ini kembali mengingatkan saya dengan hasil penelitian Koentjaraningrat yang meneliti masyarakat Indonesia pada zaman kemerdekaan. Ia menyebutkan ciri-ciri mental manusia Indonesia pada revolusi kemerdekaan yaitu: 1. sikap tak sadar akan arti kualitas; 2. sikap untuk mencapai tujuan secepatnya tanpa banyak kerelaan untuk berusaha secara selangkah demi selangkah; 3. sikap tak bertanggung jawab; 4. apatis dan lesu.
Perilaku jalan pintas seperti ini kiranya diamini juga oleh Mantan Presiden RI Baharuddin Jusuf Habibie, ia mengatakan bangsa Indonesia cenderung berorientasi jangka pendek ketimbang menempuh kerja keras dan menghargai proses dalam mengelola sumberdaya alam. Orientasi jangka pendek juga menyebabkan merajalelanya korupsi (Antara, 10 Desember 2011).
Mungkin pembicaraan tentang “cara aman ala Indonesia” juga mengilhami para calo atau makelar “jalan pintas” serta pengguna jasanya untuk mendapati tempat yang aman. Dahulu saya sempat mengkritik pemberitaan di equator yang memberitakan tentang 50 orang warga Singkawang ditipu calo CPNS. Saya kira dalil yang diungkapakan oleh Koentjaraningrat dan Mantan Presiden RI Baharuddin Jusuf Habibie sudah cukup menjelaskan semua itu.
Diatas, saya sengaja memajang foto anak-anak SD yang sedang menyeberang Jembatan yang putus. Gambar itu sendiri saya ambil dari Foto yang di link-kan ke akun jejaring sosial saya oleh sang istri. Gambar ini sengaja saya gunakan untuk “mentorpedo” perilaku para penguasa negeri ini yang dengan “teganya” masih sibuk untuk membangun dan menggunakan fasilitas jabatan yang mewah ditengah-tengah kebutuhan fisiologis masyrakat yang belum terpenuhi.
Dari hati yang paling dalam, sesungguhnya saya begitu heran. Heran mengapa hal-hal yang utama seperti kebutuhan fisiologis (jembatan) menjadi terlupakan. Sempat terbesit dipikiran saya, apakah hal ini disebabkan karena laporan BPS (Badan Pusat Statistik) tentang berkurangnya orang miskin di republik ini?
Pada titik ini, saya jadi teringat dengan sebuah makalah Prof Satjipto Rahardjo (Prof Tjip) yang berjudul “Kebebasan Ekpresi dan Hak Asasi Manusia” yang tertuang dalam sebuah buku yang berjudul Sosiologi Hukum.  
Disalah satu bagian dari makalah tersebut, Prof Tjip mengatakan “keadaan atau suasana tersebut menggambarkan adanya jurang yang besar antara golongan the haves dan the have not di negeri ini. Menurut beliau ternyata dalil sosiologis tentang golongan menengah keatas memonopoli agenda pembicaraan dan pendapat publik, menjadi lapisan yang genit dan ceriwis, termasuk tentang HAM, sedang massa yang jauh lebih besar menjadi “silent majority".
Jadi tidak heran bagi saya ketika melihat pengguna jasa calo CPNS di singkawang malah merasa ditipu, kasus korupsi yang tidak bisa diberikan tindakan yang “extra ordinary” atau imajinasi extrem (meminjam istilah Dailymail) yang dilakukan oleh PT. KAI dalam mengatasi penumpang diatas atap. Pada titik ini, saya kiranya sependapat dengan pembaca Dailymail yang memberikan komentar yang berisikan ''Inilah gaya aman ala Indonesia.''

2 comments:

  1. baru liat foto itu
    "kenapa warga gak bergotong royong bangun jembatan darurat? dan hanya meminta pertolongan pemerintah?"

    dan baru tahu nama lengkapnya pak BJ habibi, kayanya harus kembali lagi ke artikelmu yang terdahulu tentang budaya ndra

    salam

    ReplyDelete
  2. "kenapa warga gak bergotong royong bangun jembatan darurat? dan hanya meminta pertolongan pemerintah?" sama hal nya dengan pertanyaan yang timbul di hati slam. di sisi lain, hal ini memang gw ambil buat menunjukan bahwa negeri ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan dasar, tapi malah kebutuhan akan aktualisasi diri yang didahulukan (seperti mobil dinas mewah, gedung perkantoran yang megah). mengtip pendapat pakde yang dalam "pesan kepada sby", bahwa para pelayan masyarakat itu "ga bisa kerja"

    ReplyDelete