Tuesday, February 21, 2012

Hubungan Serangan Fajar dan Apel Washington


Oleh: Hendrasyah Putra

Ketika mengikuti pemberitaan di media cetak elektronik yang berjudul “Kesaksian Angie Tidak Sia-sia”, entah mengapa ketika saya membaca pemberitaan tersebut selalu tertarik untuk memperhatikan komentar-komentar para pembaca  yang berada dibawah kolom pemberitaan tersebut.
Walaupun kebanyakan komentar-komentar yang ditampilkan tersebut sangat menyudutkan Angie karena dituduh berbohong dalam memberikan kesaksian di pengadilan, tetapi hal ini memberikan saya sebuah inspirasi untuk bekerja pada sebuah proses keabadian.
Ide tulisan kali ini adalah saya ingin berbagi ide dan pengalaman serta pengamatan saya tentang pengertian politik “warung kopi”, dan pandangan mereka yang awam tentang citra buruk politisi yang sangat kental dengan stigma “bohong”.
Kisah Sang Petani dan Politikus
Dua tahun yang lalu ketika saya dan tiga orang teman sedang berkumpul disebuah rumah kos di kota Sintang. Ketika itu kami sedang berbicara dan berdiskusi tentang berbagaimacam topik. Saya pribadi yang begitu banyak dipengaruhi oleh sosiologi hukum ini secara tidak sadar seringkali bercerita tentang perilaku-perilaku bangsa didunia dalam menghadapi dan menyelesaikan sebuah masalah.
Panjang mendengar cerita saya tentang perilaku orang Jepang, Amerika, Korea dan Malaysia, akhirnya sampailah pada gilirian salah seorang teman saya yang begitu tertarik dengan trik-trik sulap dan tentunya juga forumer di kaskus untuk bercerita tentang sebuah kisah lucu yang didapatnya dalam forum tersebut.
Sambil memainkan kartu remi dan mengocoknya ia sembari bercerita tantang kisah “Petani dan Para Politikus”. Dalam kisah Petani dan Politikus itu, teman saya tadi menceritakan tentang sebuah bis  berisi  rombongan politikus yang baru saja mengadakan kampanye, tanpa diduga tiba-tiba Bus yang ditumpangi Politikus itu keluar dari jalan serta menabrak sebuah pohon besar milik petani tua.
Petani Tua tersebutpun kemudian langsung bergegas untuk melihat dan menyelidiki apa yang terjadi. Setelah menyelidiki apa yang telah terjadi, petani tua itu kemudian menggali lubang besar dan mengubur semua politikus itu bersama bus yang mereka tumpangi.
 Beberapa hari kemudian seorang aparat keamanan lewat dan bertanya kepada petani tua tersebut,’’apakah mereka semuanya mati?”. Petani itu pun menjawab ‘’beberapa dari mereka berkata mereka belum mati”, ‘’tapi anda kan tahu berapa sering mereka-“para politikus” – berbohong.
Politik Itu Apa?
Tahun 2008, ketika masih berdomisili di Kota Pontianak, saya seringkali pergi berkunjung ke tempat sahabat karib saya tepatnya didaerah sekitar bandara Supadio.
Kunjungan saya ini kiranya menjadi sebuah rutinitas ketika kami berdua telah selesai membaca sebuah atau dua buah buku. Kami yang memang sudah akrab sejak masa perkuliahan ini memang sering membangun sebuah diskusi kecil yang hanya sekedar untuk berbagi pendapat atau ide daripandangan kami masing-masing.
Pada suatu saat, sahabat karib saya ini mengajak untuk berdiskusi pada sebuah warung kopi yang tak jauh dari rumahnya. Setelah sampai di warung kopi tersebut dan tak lupa untuk memesan capucino panas yang menjadi minuman favorite saya.
Di warung kopi tersebut saya kami menjumpai tiga orang pria yang begitu asik bercakap-cakap sambil menikmati kopi susu pesanan mereka. Ketiga orang pria itu ternyata kenal dengan sahabat saya tadi. Akhirnya agar suasana menjadi hangat dan akrab kami menggabungkan meja sehingga kondisi Indonesia yang begitu komunal sangat begitu terasa.
Sambil menyeruput minuman favorite saya tadi, ketiga orang tersebut kembali menlanjutkan pembicaraan mereka tentang peta perpolitikan pada daerah tersebut untuk menghadapi Pemilu kepala Desa serta persiapan Pemilu Legislatif yang akan di helat tahun 2009.
Politik versi warung kopi ini juga tak kalah seru dengan istilah yang ada di Senayan. Jika di Senayan menggunakan istilah Apel Malang atau Apel Washington, politik warung kopi ini menggunakan istilah “serangan fajar” dan “bombardir”.
Mengerikan sekali memang mendengar istilah yang mereka gunakan itu. Ceritapun berlanjut dan sampailah pada ketika salah seorang dari mereka ada yang mengatakan “ini politik boy”, “korban lok, nanti baru dapat hasilnye”.
Ketika mereka sudah habis berceloteh, saya yang awam dengan perpolitikan ini berceletuk dan menayakan, “jadi politik itu apa?” tanya saya kepada tiga orang tadi. Sontak ketiga orang tadi terdiam sesaat dan bingung menjelaskan politik itu sendiri. Atau apa mungkin mereka malu mengatakan bahwa politik versi merika itu adalah “serangan fajar” dan “bombardir”?
Demi Rakyat Ataukah Demi Apel Washington?
Seminggu yang lalu,  rekan sejawat saya pernah datang ke meja kerja saya dan mengatakan “Hen cobe kau tulis artikel tentang politik”, saya pun menjawab ”aku cukup awam dengan politik bang, koleksi buku tentang politik pon siket”.
Dalam tulisan kali ini, saya memang tidak ingin menguak tentang pengertian “politik itu apa?”, tulisan ini sendiri memang cenderung lebih menyoroti pada aspek kultur yang tercermin dari perilaku-perilaku manusia Indonesia yang mengaku berkecimpung di dunia politik dan arus utama motivasi mereka berkecimpung di dunia politik Indonesia.
Berpangkal pada salah satu tulisan Prof Tjip yang bercerita tentang pemberantasan korupsi di Inggris dimulai dengan penertiban “perijinan” memicu saya untuk mencoba menguak ada apa dibalik pengeluaran ijin tersebut.
Berangkat dari hal tersebut, saya kemudian mencurigai motivasi kenapa dunia politik di Indonesia dipahami dengan “serangan fajar” dan “bombardir” yang kelak diharapkan berbuah “Apel Washington”.
Dalam sebuah pemberitaan pada www.inilah.com yang berjudul “Kepala Daerah Minta Naik Gaji”, dalam berita tersebut saya menemukan sebuah pendapat yang kiranya bisa sedikit menggambarkan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Dalam kesempatan kali ini saya mengutip pendapat Peneliti Badan Litbang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Muhammad Ilham Hamudy.
Dalam komentarnya terhadap permintaan kenaikan gaji kepala daerah tersebut, ia menuturkan nikmatnya menjadi Kepala Daerah selain gaji dan tunjangan jabatan, adalah Banyaknya sumber pendapatan di luar gaji pokok membuat banyak orang bernafsu untuk menjadi kepala daerah.
Selanjutnya Ia mengatakan “ ’Gaji gelap’ yang mungkin diperoleh mereka antara lain dari upah pungut pajak, fee dari perbankan bila menitipkan anggarannya ke suatu bank, sumbangan setiap pengusaha yang mendapatkan proyek, fee perizinan yang dikeluarkan, belum lagi fasilitas dan tunjangan-tunjangan lain, dan sebagainya.
Ihwal ini tentunya juga menjadi penting untuk menjawab mengapa pula biaya politik di Indonesia menjadi begitu mahal dan tentunya mengapa pula orang yang ingin berkancah di dunia politik (apakah ingin menjadi anggota Legislatif, Kepala Daerah ataupun Prisiden) “rela” menggelontorkan uang yang cukup besar jumlahnya. Mungkinkah “kerelaan” menggelontorkan uang tersebut demi rakyat? Ataukah demi “Apel Washington”?
Didukung Masyarakat??
Cerita tentang politik uang dan begitu banyaknya gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi tentang sengketa hasil Pemilukada yang berbau kecurangan kiranya sudah bukan hal baru di negeri ini.
Sedikit bercerita tentang politik uang, hemat saya, terciptanya hal ini juga karena didukung oleh mentalitas masyarakat yang bisa dikatakan cukup senang menerima uang lima puluh ribu dan sembako yang mengisyaratkan “pilihlah aku” dari sang pemberi.
Alih-alih mengutuk politik uang dan segala kecurangan yang terjadi, tetapi secara perilaku masyarakat kita malah meng-amini hal tersebut. Bukannya ingin menuding masyarakat, tetapi jika masyarakat menolak seperti apa yang diucapkannya dalam “mengutuk dan mengkritisi” kecurangan dalam Pemilu, harusnya hal itu didukung pula oleh perilaku yang menolak segala pemberian yang “diduga” atau “dicurigai” segala perilaku curang.
 Kini tanpa kita sadari, segala keterpurukan negeri ini sebenarnya bukanlah salah dari sektor politik di negeri ini saja. Hemat saya, segala keterpurukan yang terjadi saat ini merupakan andil dari seluruh anak negeri ini. Mungkin dalil ini sulit untuk diterima, tetapi bukankah perubahan itu dimulai dari diri sendiri dahulu?

4 comments:

  1. seperti tulisanmu kamarin hen
    merubah budaya itu susah

    ReplyDelete
  2. memang susah ketimbang merubah undang-undang atau membuat sebuah komisi atau lembaga baru.
    tapi perilaku buruk masyarakat yang telah berulang2 dan sudah dianggap lazim ini lebih penting untuk dirubah, walaupun sangat sulit.. menurut gw ga ada pilihan lain slam... pintar tapi ga bermoral ya susah....

    ReplyDelete
  3. your post is nice.. :)
    keep share yaa, ^^
    di tunggu postingan-postingan yang lainnya..

    jangan lupa juga kunjungi website dunia bola kami..
    terima kasih.. :)

    ReplyDelete
  4. postingan yang sangat menarik :)
    sangat bermanfaat.. ^_^
    keep posting yaa..

    ingin barang bekas lebih bermanfaat ?
    kunjungi website kami, dan mari kita beramal bersama.. :)

    ReplyDelete