Oleh: Hendrasyah Putra
Ketika mengikuti pemberitaan di media cetak
elektronik yang berjudul “Kesaksian Angie Tidak Sia-sia”, entah mengapa ketika saya membaca pemberitaan tersebut selalu tertarik
untuk memperhatikan komentar-komentar para pembaca yang berada dibawah kolom pemberitaan tersebut.
Walaupun kebanyakan komentar-komentar yang
ditampilkan tersebut sangat menyudutkan Angie karena dituduh berbohong dalam
memberikan kesaksian di pengadilan, tetapi hal ini memberikan saya sebuah
inspirasi untuk bekerja pada sebuah proses keabadian.
Ide tulisan kali ini adalah saya ingin berbagi ide
dan pengalaman serta pengamatan saya tentang pengertian politik “warung kopi”,
dan pandangan mereka yang awam tentang
citra buruk politisi yang sangat kental dengan stigma “bohong”.
Kisah Sang Petani dan Politikus
Dua tahun yang lalu ketika saya dan tiga orang
teman sedang berkumpul disebuah rumah kos di kota Sintang. Ketika itu kami
sedang berbicara dan berdiskusi tentang berbagaimacam topik. Saya pribadi yang
begitu banyak dipengaruhi oleh sosiologi hukum ini secara tidak sadar
seringkali bercerita tentang perilaku-perilaku bangsa didunia dalam menghadapi
dan menyelesaikan sebuah masalah.
Panjang mendengar cerita saya tentang perilaku
orang Jepang, Amerika, Korea dan Malaysia, akhirnya sampailah pada gilirian
salah seorang teman saya yang begitu tertarik dengan trik-trik sulap dan tentunya juga forumer di kaskus untuk bercerita tentang sebuah kisah lucu yang didapatnya dalam forum tersebut.
Sambil memainkan kartu remi dan mengocoknya ia
sembari bercerita tantang kisah “Petani dan Para Politikus”. Dalam kisah Petani dan
Politikus itu, teman saya tadi menceritakan tentang sebuah bis berisi
rombongan politikus yang baru saja mengadakan kampanye, tanpa diduga
tiba-tiba Bus yang ditumpangi Politikus itu keluar dari jalan serta menabrak
sebuah pohon besar milik petani tua.
Petani Tua tersebutpun kemudian langsung bergegas
untuk melihat dan menyelidiki apa yang terjadi. Setelah menyelidiki apa yang
telah terjadi, petani tua itu kemudian menggali lubang besar dan mengubur semua
politikus itu bersama bus yang mereka tumpangi.
Beberapa
hari kemudian seorang aparat keamanan lewat dan bertanya kepada petani tua
tersebut,’’apakah mereka semuanya mati?”. Petani itu pun menjawab ‘’beberapa
dari mereka berkata mereka belum mati”, ‘’tapi anda kan tahu berapa sering
mereka-“para politikus” – berbohong.
Politik Itu Apa?
Tahun 2008, ketika masih berdomisili di
Kota Pontianak, saya seringkali pergi berkunjung ke tempat sahabat karib saya
tepatnya didaerah sekitar bandara Supadio.
Kunjungan saya ini kiranya menjadi sebuah
rutinitas ketika kami berdua telah selesai membaca sebuah atau dua buah buku.
Kami yang memang sudah akrab sejak masa perkuliahan ini memang sering membangun
sebuah diskusi kecil yang hanya sekedar untuk berbagi pendapat atau ide
daripandangan kami masing-masing.
Pada suatu saat, sahabat karib saya ini
mengajak untuk berdiskusi pada sebuah warung kopi yang tak jauh dari rumahnya.
Setelah sampai di warung kopi tersebut dan tak lupa untuk memesan capucino
panas yang menjadi minuman favorite saya.
Di warung kopi tersebut saya kami menjumpai tiga orang pria yang begitu asik bercakap-cakap sambil menikmati kopi susu pesanan mereka. Ketiga orang pria itu ternyata kenal
dengan sahabat saya tadi. Akhirnya agar suasana menjadi hangat dan akrab kami
menggabungkan meja sehingga kondisi Indonesia yang begitu komunal sangat begitu
terasa.
Sambil menyeruput minuman favorite saya
tadi, ketiga orang tersebut kembali menlanjutkan pembicaraan mereka tentang peta
perpolitikan pada daerah tersebut untuk menghadapi Pemilu kepala Desa serta
persiapan Pemilu Legislatif yang akan di helat tahun 2009.
Politik versi warung kopi ini juga tak
kalah seru dengan istilah yang ada di Senayan. Jika di Senayan menggunakan
istilah Apel Malang atau Apel Washington, politik warung kopi ini menggunakan
istilah “serangan fajar” dan “bombardir”.
Mengerikan sekali memang mendengar istilah
yang mereka gunakan itu. Ceritapun berlanjut dan sampailah pada ketika salah
seorang dari mereka ada yang mengatakan “ini politik boy”, “korban lok, nanti
baru dapat hasilnye”.
Ketika mereka sudah habis berceloteh, saya
yang awam dengan perpolitikan ini berceletuk dan menayakan, “jadi politik itu
apa?” tanya saya kepada tiga orang tadi. Sontak ketiga orang tadi terdiam
sesaat dan bingung menjelaskan politik itu sendiri. Atau apa mungkin mereka
malu mengatakan bahwa politik versi merika itu adalah “serangan fajar” dan
“bombardir”?
Demi Rakyat Ataukah Demi Apel Washington?
Seminggu yang lalu, rekan sejawat saya pernah datang ke meja kerja
saya dan mengatakan “Hen cobe kau tulis artikel tentang politik”, saya pun
menjawab ”aku cukup awam dengan politik bang, koleksi buku tentang
politik pon siket”.
Dalam tulisan kali ini, saya memang tidak
ingin menguak tentang pengertian “politik itu apa?”, tulisan ini sendiri memang
cenderung lebih menyoroti pada aspek kultur yang tercermin dari perilaku-perilaku
manusia Indonesia yang mengaku berkecimpung di dunia politik dan arus utama
motivasi mereka berkecimpung di dunia politik Indonesia.
Berpangkal pada salah satu tulisan Prof
Tjip yang bercerita tentang pemberantasan korupsi di Inggris dimulai dengan
penertiban “perijinan” memicu saya untuk mencoba menguak ada apa dibalik
pengeluaran ijin tersebut.
Berangkat dari hal tersebut, saya kemudian
mencurigai motivasi kenapa dunia politik di Indonesia dipahami dengan “serangan
fajar” dan “bombardir” yang kelak diharapkan berbuah “Apel Washington”.
Dalam sebuah pemberitaan pada www.inilah.com yang berjudul “Kepala Daerah
Minta Naik Gaji”, dalam berita tersebut saya menemukan sebuah pendapat yang
kiranya bisa sedikit menggambarkan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Dalam kesempatan kali ini saya mengutip pendapat Peneliti Badan Litbang Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri), Muhammad Ilham Hamudy.
Dalam komentarnya terhadap
permintaan kenaikan gaji kepala daerah tersebut, ia menuturkan nikmatnya menjadi Kepala Daerah selain gaji dan tunjangan jabatan, adalah Banyaknya sumber pendapatan di luar gaji pokok membuat banyak orang
bernafsu untuk menjadi kepala daerah.
Selanjutnya Ia mengatakan “ ’Gaji gelap’ yang mungkin diperoleh
mereka antara lain dari upah pungut pajak, fee dari perbankan bila menitipkan
anggarannya ke suatu bank, sumbangan setiap pengusaha yang mendapatkan proyek,
fee perizinan yang dikeluarkan, belum lagi fasilitas dan tunjangan-tunjangan
lain, dan sebagainya.
Ihwal ini tentunya juga menjadi penting
untuk menjawab mengapa pula biaya politik di Indonesia menjadi begitu mahal dan
tentunya mengapa pula orang yang ingin berkancah di dunia politik (apakah ingin
menjadi anggota Legislatif, Kepala Daerah ataupun Prisiden) “rela”
menggelontorkan uang yang cukup besar jumlahnya. Mungkinkah “kerelaan”
menggelontorkan uang tersebut demi rakyat? Ataukah demi “Apel Washington”?
Didukung Masyarakat??
Cerita tentang politik uang dan begitu
banyaknya gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi tentang sengketa
hasil Pemilukada yang berbau kecurangan kiranya sudah bukan hal baru di negeri
ini.
Sedikit bercerita tentang politik uang, hemat
saya, terciptanya hal ini juga karena didukung oleh mentalitas masyarakat yang
bisa dikatakan cukup senang menerima uang lima puluh ribu dan sembako yang
mengisyaratkan “pilihlah aku” dari sang pemberi.
Alih-alih mengutuk politik uang dan segala
kecurangan yang terjadi, tetapi secara perilaku masyarakat kita malah meng-amini
hal tersebut. Bukannya ingin menuding masyarakat, tetapi jika masyarakat
menolak seperti apa yang diucapkannya dalam “mengutuk dan mengkritisi” kecurangan
dalam Pemilu, harusnya hal itu didukung pula oleh perilaku yang menolak segala
pemberian yang “diduga” atau “dicurigai” segala perilaku curang.
Kini
tanpa kita sadari, segala keterpurukan negeri ini sebenarnya bukanlah salah
dari sektor politik di negeri ini saja. Hemat saya, segala keterpurukan yang
terjadi saat ini merupakan andil dari seluruh anak negeri ini. Mungkin dalil
ini sulit untuk diterima, tetapi bukankah perubahan itu dimulai dari
diri sendiri dahulu?
seperti tulisanmu kamarin hen
ReplyDeletemerubah budaya itu susah
memang susah ketimbang merubah undang-undang atau membuat sebuah komisi atau lembaga baru.
ReplyDeletetapi perilaku buruk masyarakat yang telah berulang2 dan sudah dianggap lazim ini lebih penting untuk dirubah, walaupun sangat sulit.. menurut gw ga ada pilihan lain slam... pintar tapi ga bermoral ya susah....
your post is nice.. :)
ReplyDeletekeep share yaa, ^^
di tunggu postingan-postingan yang lainnya..
jangan lupa juga kunjungi website dunia bola kami..
terima kasih.. :)
postingan yang sangat menarik :)
ReplyDeletesangat bermanfaat.. ^_^
keep posting yaa..
ingin barang bekas lebih bermanfaat ?
kunjungi website kami, dan mari kita beramal bersama.. :)