Tulisan kali ini sejatinya secara tak sengaja terinspirasi dari status yang saya buat pada akun sosial media milik saya. Kejadiannyapun sangat begitu spontan. Diawali dengan sebuah telepon pemberitahuan dari rekan kerja saya dan semua unek-unek yang ada dalam hati inipun tertuang begitu saja dalam kata-kata yang tertulis dalam status itu.
Isi dari status itu sendiri secara garis besar adalah dimana saya mengatakan saya bisa lulus ujian untuk mendapatkan kualifikasi tertentu dengan cara yang jujur. Selain itu, dalam status itu berisikan pula pendapat saya yang meremehkan orang-orang yang dengan cara curang untuk mendapatkan kualifikasi itu.
Dalam tulisan kali ini, saya memang sengaja tidak memberikan dengan jelas ujian apa yang saya ikuti dan kualifikasi apa yang saya dapati atas kelulusan itu. Hal ini sendiri sengaja saya lakukan mengingat Indonesia dalam “konteks kekininan” belum siap untuk menerima kenyataan atau lebih tepatnya dalam bahasa populernya “buruk rupa cermin dibelah”.
Kembali kepada cerita dari status itu sendiri, selang beberapa menit kemudian muncul beberapa komentar yang menanggapi status itu. Ada yang memberikan komentar mendukung kejujuran serta mengingatkan saya akan tanggung jawab dan tantangan dikemudian hari serta ada pula yang bingung dan bertanya-tanya tentang sisi mana yang saya katakan menyontek dan tidak jujur itu sendiri.
Untuk menghilangkan rasa penasaran dan kebingungan teman yang bertanya dimana sisi ketidakjujuran itu, saya pun mencoba menanggapinya dengan menceritakan sedikit kronologis dimana kecurangan itu berawal.
Ketika sebelum ujian dilakukan, sebelumnya para peserta diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan agar memahami tugas, amanah dan tanggung jawab jika kelak lulus dan memiliki kualifikasi tersebut.
Bagi saya yang sangat haus akan ilmu pengetahuan, pelatihan tersebut membuat saya begitu antusias. Ketika itu sayapun duduk bersama kawan sejawat saya di barisan depan.
Hari pertama, ketika itu rasa malas dan kecewa menghantui diri saya. Rasa malas dan kecewa itu sendiri datangnya bukan karena tak ada alasan. Alasan dimana besarnya harapan saya bahwa untuk memperbaiki negeri ini dengan memulai dengan niat baik dan perilaku jujur tiba-tiba hancur berkeping-keping.
Entah mengapa, saya begitu membenci “rencana jahat” dan “niat buruk” dalam mendapatkan sesuatu. Dalam pengamatan saya, rencana jahat itu sendiri tertuang dalam perilaku untuk “membocorkan soal ujian” yang digagas oleh pihak tertentu yang bekerjasama dengan “oknum pelatih” agar para peserta bisa lulus ujian dan memiliki kualifikasi tersebut.
Rencana jahat ini tentunya sangat bertentangan dengan prinsip yang saya anut selama ini. Prinsip dimana niat baik dan berbuat jujur itu adalah sangat penting bagi saya dalam menjalankan segala sesuatu dalam kehidupan yang fana ini.
Dalam kesempatan coffe break, saya sempat berbincang-bincang kepada teman-teman yang saya anggap memiliki potensi membaikan dan bisa melakukan gerakan perlawanan atau perubahan untuk menghadapi rencana jahat tersebut.
Sebelum menyampaikan niat untuk melawan kecurangan tersebut, saya sengaja membuka pembicaraan dengan beberapa tulisan saya yang membicarakan tentang perilaku orang Jepang dalam menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami (terbit di Equator).
Ketika kami membicarakan tentang perilaku orang Jepang tersebut, saya begitu senang dan merasa sedikit lega melihat apresiasi teman-teman yang begitu kagum dan memuji perilaku orang Jepang dalam mengatasi bencana yang menimpa mereka. Ketika itu timbul harapan besar bahwa gerakan kejujuran ini bisa dilaksanakan.
Tapi sayang seribu sayang, alih-alih mendapat harapan yang tercerahkan, saya malah menemukan fenomena yang “menusuk hati”. Feonomena itu sendiri adalah dimana teman-teman yang saya ajak bicara tersebut terdiam dan bimbang menentukan sikap ketika saya hadapkan dengan rencana baik untuk menggagalkan rencana jahat itu.
Saya hanya bisa mengerutkan kening dan menaikan bahu ketika mendengar “lagoe lama” untuk membenarkan perilaku yang salah. Alasan dimana pendidikan tiga hari itu tidak cukup atau pentingnya mendapatkan kualifikasi itu untuk membaikan negara ini menjadi pembenar rencana jahat tersebut.
Sayapun makin terdiam ketika ada salah satu dari teman saya yang mengatakan bahwa “ujian ini kalo jujur kita tidak bisa lulus”. Saya sempat berargumen dengan memberikan contoh teman saya yang sudah lulus dengan cara yang jujur dengan berdoa dan belajar keras.
Tapi apalah daya, akhirnya saya hanya bisa memberikan harapan yang tak terbalaskan dengan mengatakan “saya tidak bisa memaksa teman-teman untuk tidak mengikuti pertemuan pada malam jumat yang membahas bocoran soal tersebut”, kemudian pembicaraan itu saya akhiri dengan ketegasan saya dengan mengatakan “bahwa saya tidak akan ikut pertemuan itu, bagi saya hal itu sama halnya dengan mengkhianati ilmu pengetahuan dan membohongi diri sendiri”.
Pagi hari ketika saya masuk kedalam ruangan untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan dihari terkahir sebelum ujian dimulai, ada beberapa teman yang menanyakan kenapa saya tidak hadir tadi malam. Dengan maksud tidak ingin menyakiti karena adagium “buruk rupa cermin dibelah” itu, maka saya hanya bisa menjawab bahwa “saya memilih beristirahat di penginapan karena saya masih kelelahan”.
Beberapa teman ada yang mengaggap saya tidak serius dalam mengikuti pedidikan untuk mendapatkan kualifikasi tersebut. Beberapa orang pun makin mencibir perilaku saya ketika saya bisa menyelesaikan ujian paling cepat. Ada yang mentertawakan dan ada juga yang mengatakan saya seperti pembalap motor GP dalam menyelesaikan ujian tersebut (karena lebih cepat dari teman-teman yang lain). Untuk hal itu, Saya hanya bisa membalas sikap tersebut dengan “guyonan ala saya”.
Akhirnya hari dimana telepon genggam saya berdering dan berisikan pemberitahuan kelulusan saya pun tiba. Hasil ujiannya pun begitu mengejutkan. Dari seluruh peserta hanya sepuluh orang saja yang lulus. Alhamdulilah, saya dan teman sejawat saya yang tidak mengikuti pertemuan malam jumat itu lulus.
Dari komentar yang ada di status saya itu, ada sebuah “hal” yang mengejutkan bagi saya. Hal itu adalah dimana soal yang dibahas pada malam jumat yang secara sembunyi-sembunyi itu tidak sama dengan yang di ujiankan. Mengerikan.
Saya begitu prihatin atas hal tersebut. Perihatin dimana teman-teman yang memilih jalan pintas tersebut ternyata ada yang tidak lulus dikarenakan soal yang dibahas ketika malam jumat tersebut berbeda dengan apa yang telah di gembar-gemborkan oleh manusia yang tak bertanggung jawab.
Bagi saya, inilah salah satu tanda dari kekuasaan Allah.swt. dalam status itu saya juga menyampaikan bahwa “Tuhan Yang Maha Kuasa, Bukan Manusia!”. Manusia memang boleh berencana (rencana baik ataupun buruk), tapi hasil akhir adalah hanya Allah.swt yang maha mengetahui dan maha adil yang menentukan.
Kembali kepada substansi dari status yang saya buat itu, “jujur” saya akui bahwa status itu sesungguhnya saya peruntukan bagi orang-orang yang memiliki niat baik, jujur dalam berusaha dan masih setia dengan kejujuran. dan tentunya saya ingin juga mengutip komentar yang menarik dari sahabat karib saya Pak Endry yang mengatakan “Bukti bahwa keberhasilan dimulai dengan niat baik dan tulus yang didasari oleh kejujuran. Tidak ada kebaikan yang dihasilkan dari keburukan”.
Dalam kesempatan ini, saya hanya bisa berterimakasih banyak kepada teman-teman yang tetap setia dan teguh pada kejujuran. Tentunya tak lupa pula saya ingin sedikit berbagi kebahagian bahwa usaha keras yang diiringi doa dan perilaku jujur itu ternyata “begitu manis rasanya”. Apakah anda ingin mencobanya??
nice.. saya paling takut boong dari kecil, pasalnya wkt msh SD suka baca komik Neraka Jahannam, disitu digambarkan, kalo boong, lidahnya bakalan dipotong, trus tumbuh lagi, en dipotong lagi oleh tangan kita sendiri.. hiyy,,, dan itu jadi mental block yang positif buat saya. hihihi..
ReplyDeleteseandainya ada pery pinokio, jadi yang bohong pasti ketahuan (karena hidungnya jajdi panjang)
ReplyDeletehidup adalah sebuah ironi.
ReplyDeleteketika kita menanam bibit buah mangga yang masam, maka kita akan memanen buah yng masam.
tapi ketika kita menanam bibit buah mangga yang bagus, belum tentu kita akan memanen buah yang bagus jg.
intinya klo kita menanam kebaikan saja masih bisa mendapatkan keburukan, apa lagi klo dari awal sudah menanamkan keburukan.~~