Sumber gambar : http://carabineri.wordpress.com |
Oleh: Hendrasyah Putra
Kita tentutnya sudah tak asing lagi
dengan istilah “Otak Belande” (istilah Melayu Pontianak). Walaupun saya bukan
seorang ahli bahasa, bagi saya yang awam ini istilah tersebut berarti sebuah
perilaku licik, curang dan bermuara kepada suatu perilaku buruk. Anggapan
tersebut muncul sebagaimana sejarah yang mengajarkan kita tentang bagaimana
Belanda mengadu domba pribumi pada masa kolonial dengan berbagaimacam daya dan
upaya.
Iwan Fals pernah mempopulerkan istilah “Bento”
melalui lagunya yang sangat melegenda itu. Melihat lirik Bento, saya jadi
berfikir bahwa istilah “Bento” dan “Otak belande” ini memiliki sebuah kemiripan
dalam hal keburukan dimana seseorang akan menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan.
Dalam konteks kekinian, saya seringkali
mendengar masyarakat menyalahkan Belanda yang pernah menjajah Indonesia
sehingga perilaku-perilaku “Bento” lebih dominan daripada perilaku Pancasila.
Disisi lain masyarakat kerapkali membandingkan negara-negara bekas jajahan
Inggris yang “konon” lebih maju, beradab dan bermartabat.
Secara pribadi, sebenarnya saya agak
kurang sependapat dengan masyarakat yang terlalu mengkambing-hitamkan Belanda
atas menjamurnya perilaku “Bento” serta ketertinggalan Indonesia dari negara-negara
bekas jajahan Inggris. Pada titik ini, tentu ada baiknya kita merujuk sejarah
dan melihat seberapa jauh penetrasi dari Belanda dalam hal memberikan
pengaruhnya terhadap masyarakat Indonesia.
MENGIKUTI
BUDAYA LOKAL
Pada kesempatan ini, saya ingin
memfokuskan masuknya penetrasi asing khususnya Belanda terhadap Indonesia diera
tahun 1500. Berikut adalah data-data sejarah yang saya rangkum serta saya edit
untuk memperpendek alur tulisan dari buku yang berjudul “Peperangan Kerajaan
Di Niusantara” oleh Capt. R.P. Suyono.
“Pada
tahun 1596, organisasi dagang Belanda Companie van Verre yang dipimpin Cornelis
de Houtman dengan empat buah kapal, diawaki 250 orang dan dilengkapi dengan 100
meriam berlabuh di Banten.
Cornelis
de Houtman dan awaknya ketika itu tidak mendapat sambutan yang baik dari
Portugis dan tentunya penduduk setempat. Bahkan ketika Cornelis de Houtman
datang menghadap Bupati Jayanagara, ia dan beberapa pengawalnya ditangkap.
Karena
Cornelis de Houtman mendapatkan perlakuan buruk oleh Bupati Jayanagara, hal ini memicu kemarahan anak buah Cornelis de
Houtman. Akhirnya setelah anak buahnya melakukan bombardir terhadap Banten dan
juga tentunya memberikan “tebusan”sebanyak 4.500 gulden, Cornelis de Houtman
pun dibebaskan.
Cornelis
de Houtman mungkin bisa dianggap gagal
dalam misi perdagangannya, tetapi tidak untuk misi eksepedisi penemuan
nusantara. Pada tahun 1598, pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia yang
dipimpin oleh Admiral Van Neck. Nasib sang admiral mungkin sedang beruntung,
karena ketika itu Portugis baru saja diusir dari Banten.
Tak
ada makan siang yang gratis, mungkin orang-orang dahalu telah mengenal dan
lebih paham dengan istilah ini. Admiral Van Neck yang menghadap Bupati
Jayanagara ketika itu diharuskan membayar dimuka sejumlah 10.000 gulden serta
harus membayar beberapa ratus gulden ke syahbandar.
Kegagalan
Cornelis da Houtman mengajarkan Van Neck untuk tidak jatuh kelubang yang sama.
Van Neck menyanggupi biaya yang dikenakan Bupati Jayanagara dan syahbandar.
Atas kesanggupannya untuk membayar apa yang telah ditetapkan Bupati, akhirnya ia
dibebaskan untuk melakukan aktifitas perdagangan.
Ketika
rempah-rempah yang hendak dibawa ke negeri Belanda telah penuh, Van Neck pun
segera pergi untuk kembali ke negeri Belanda, ia juga tak lupa mengikuti “budaya
lokal” ketika itu untuk memberikan “upeti” kepada raja Banten yang ketika itu
masih berumur 3 tahun. Kontan saja Van Neck makin diterima oleh kerjaan Banten dan
masyarakat”.