sumber gambar: www.jatiluhuronline.com/2011/04/opini-anda.html
|
Oleh: Hendrasyah
Putra
Belakangan ini
kreatifitas untuk menulis saya seakan terkungkung oleh sebuah pertanyaan
itu-itu saja. Kata-kata “Atas nama rakyat” seakan memberikan sebuah jawaban
yang abstrak atas kebuntuan ini.
Dari politikus, kelompok
masyarakat, cendikiawan, ulama, partai politik, LSM, lembaga penegak hukum, pemerintah
dan DPR selalu mengatasnamakan rakyat ketika bertindak dan memutuskan sebuah
kebijakan.
Sebuah alasan
klasik yang begitu abstrak, mengingat kata-kata rakyat berujung pada indikator
“anonim” yang tentunya begitu mudah untuk dicatut dalam hal apapun. Pertanyaan pun
mulai muncul ketika pihak lain yang merasa “terganggu” dengan kata-kata atas
nama rakyat tersebut membalas dengan ucapan “rakyat yang mana?”
Berbicara Indonesia
pada suatu sisi sosiologis, seakan-akan tak akan pernah habis dibicirakan dan
dituangkan dalam sebuah tulisan. Tapi ketika kita mencoba melihat lebih dalam
lagi mengenai akar permasalahan yang menjadi biang keladi keburukan di
Indonesia seakan hal itu sudah bisa kita finalkan tentang pragmatisme yang begitu
akrab dengan masyarakat.
Sempat terpikir
oleh saya bahwa kata-kata rakyat tersebut hanya menjadi komoditas pemanis
kepentingan. Rakyat yang kemudian sangat diidientikan dengan golongan yang
termarginalkan dari satu sisi terbut kemudian menjadi sorotan yang kemudian
diblow-up sehingga sempurnalah tujuan dari si pemilik kepentingan.
Masyarakat
mungkin menyadari hal tersebut. Saya pikir adagium masyarakat Indonesi kini
sudah cerdas bisa menjawab hal tersebut. Masalahnya adalah bagaimana mungkin
masyarakat yang cerdas tersebut hanya diam ketika kecurangan jelas-jelas begitu
telanjang didepan mata?