Wednesday, May 15, 2013

BENTO DAHULU DAN KINI

sumber gambar :http://dhekafirdaus.wordpress.com/2012/03/


Oleh : Hendrasyah Putra


Bento, sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Iwan Fals. Siapa yang tak kenal lagu ini, musik dan lirik yang begitu asik sering kali didendangkan oleh masyarakat walaupun kadang tak sadar akan pesan moral yang terkandung dalam liriknya.
Bento, dahulu orang-orang mengatakan istilah tersebut diapakai sebagai adagium untuk menyindir Mantan Presiden Soeharto dan antek-anteknya. Kata orang, bento kepanjangan dari “benteng Soeharto”. Walaupun tak jelas juga sumber yang bisa mengungkapkan arti bento tersebut, tapi bagi saya lagu bento berarti sebuah kritikan bagi penguasa-penguasa yang tidak bermoral.
Dahulu korupsi, kolusi, nepotis serta kejahatan HAM berat selalu berada dalam epicentrum penguasa Orde Baru. Hal-hal tersebut hampir kasat mata mengingat pembredelan media dan tentunya pembatasan hak-hak untuk mengeluarkan suara dibatasi secara ketat.
Meskipun demikian, tetap saja ada pejuang-pejuang yang memiliki keberanian untuk tetap bersuara lantang menyuarakan keadialan dan kebenaran. Resiko seperti ancaman penculikan bahkan kematian sekalipun menjadi ganjaran yang setimpal bagi orang-orang yang dianggap sebagai pembakang ini.
Ketika masa jayanya, Bento-bento bebas berkeliaran dan berbuat sesuka hati tanpa harus takut ada kamera dan pena-pena yang memberitakan perilaku buruk mereka. Hukum seakan mati, karena memang hukum buatan manusia sesungguhnya tak lebih dari sebuah alat politik yang dijadikan alat pembenar dan sekaligus menajdi alat pemusnah lawan-lawan politik.
Tapi tak ada yang abadi dimuka bumi ini, zaman berganti, seluruh element masyarakat tergerak untuk melawan dan melakukan perubahan terhadap tindakan yang “tidak memanusiakan manusia”. Para bento pun lari terbirit-birit. Walaupun sempat berkonsolidasi, tapi ternyata gerakan reformasi lebih solid dan kompak dan akhirnya tak bisa lagi dibendung para bento.
Bento-bento pun tiba-tiba menghilang seakan mati seketika ditelan munculnya era reformasi. Bento oh bento, mungkinkah dikau mati suri dan menunggu era diamana engkau akan dibangkitkan lagi.
ERA BARU KEBANGKITAN BENTO
Era baru reformasi yang menandai tumbangnya rezim orde baru memang digadang-gadang akan lebih membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Jaminan atas Hak Asasi Manusia memang lebih terbukti walaupun lebih banyak menimbulkan dilema ketika dipraktikan.
Pada titik ini era kebangkitan bento pun dimulai. Hal ini ditandai dengan mulai munculnya kebablasan dalam praktik-praktik berdemokrasi dalam konteks kekinian yang selalu dibalut dengan sebuah legalitas formal.
Bablas, kata-kata tersebut seringkali terucap ketika ekses dari sesuatu yang berlebihan yang menagatasnamakan reformasi dan HAM mulai sering muncul dimasyarakat. Sesuatu yang berlebih memang tidak akan ada membawa manfaat begitulah kira-kira pesan dari Rasullulah.
Sebagai contoh, Prof. Jimly Asshidiqie pernah mengomentari tentang banyaknya Komisi Indepen bentukan negara yang jumlahnya sekitar 50-an. Hemat saya, dengan saking banyaknya komisi tersebut memunculkan inefesiensi terhadap lembaga-lembaga pemerintah yang sudah ada sebelumnya, belum lagi indikasi bagi-bagi jabatan untuk duduk sebagai komisoner yang kini begitu kasar mata namun sulit untuk dibuktikan.
 Dialain sisi, banyaknya komisi tersebut tentu berdampak langsung terhadap  gemuknya postur birokrasi di negeri ini. selain menambah gemuk birokrasi, kegemukan tersebut juga berdampak pada banyaknya beban yang harus ditanggung  oleh APBN dimana anggaran tersedot sangat banyak hanya untuk membayar gaji para komisioner, pegawai serta membangun gedung baru untuk komisi-komisi tersebut.
Sungguh tak ada hal yang baik dari sesuatu yang berlebih. Tapi apa mau dikata, Marx pernah mengingatkan kita bahwa “kenyataan adalah realita yang terbalik”. Hukum yang katanya sebagai pengatur ternyata hanya menjadi sebuah alat yang melegalkan bento-bento untuk menguras uang-uang rakyat secara langsung maupun tidak langsung.
Apa mau diakata, hukum memang sebuah produk politik. Ini adalah kenyataan pahit yang harus ditelan oleh para Masteer of de Rechten (Sarjana Hukum) yang terlalu gila terhadap teori “rule of law” yang sekali lagi saya katakan sangat jauh panggang dari api.
Era reformasi yang digadang-gadang akan menjadi titik balik untuk membaikan bangsa Indonesia ternyata hanyalah sebuah era baru kebangkitan bento-bento dari tidurnya. Yang berbeda hanyalah bento kini lebih sering tampil di televisi, “berkhotbah soal moral dan omong keadilan”, tapi  disisi lain perilaku buruk mereka dalam “lobbyng dan upeti” hanyalah suatu hal lain yang kasar mata, nampak oleh media dan masyarakat tapi tak bisa disuarakan dalam meja peradilan.

TANDA-TANDA KEILMUAN TAK JADI UKURAN KEHORMATAN
 Geliat bento dalam konteks kekinian memang sudah tak bisa dipungkiri lagi. “jagal apa saja, yang penting aku menang, aku senang, persetan orang susah karena aku” sepertinya potongan lirik lagu bento tersebut bukan hanya sekedar bahan sindiran bagi bento, tapi mungkin juga kini menjadi landasan cara mereka untuk menjalankan aksi-aksinya.
Bento, memang tak perduli latar belakang. Bisa dari kalangan mana saja, mau aktifis, pemerintah, swasta ataupun akademisi sekalipun semua bisa menjadi bento. Bento, memang selalu ada dan tetap akan ada selama dunia belum kiamat.
Bento, di era kekinian memang sudah lebih solid dan terorganisir. Persetan masalah keilmuan, yang penting loyal dan bisa bekerja sama dengan bento maka orang-orang tersebut bisa didorong untuk tampil dan duduk disebuah jabatan yang tentunya sangat menguntungkan para bento.
Prof. J.E. Sahetapy seringkali mengkritisi tentang moralitas dan kompetensi penyelenggara negara ini dalam sebuah acara talk show di malam rabu. Realitas tentang carut-marutnya perekrutan CPNS, Hakim Agung dan para Komisioner yang muncul saat ini hanyalah menjadi sebuah fakta bahwa tanda-tanda keilmuan tak lagi jadi ukuran kehormatan. Perih memang untuk mengutarakan realitas yang sulit untuk dibuktikan ini, tapi apa mau dikata memang begitulah adanya.
Entah siapa yang salah. Sebuah acara reportase sore mengungkap sebuah fakta buruknya sistem evaluasi belajar saat ini. Sebuah fakta dimana kunci jawaban Ujian Nasional diberikan kepada siswa yang terpercaya oleh gurunya untuk kelak disebarkan ke teman-teman sekelas agar bisa menjawab soal ujian tersebut. Hal ini saya kira sudah menjadi rahasia kita bersama dan tentunya enggan untuk diungkap bukan karena malu, tapi karena sudah menjadi kebiasaan yang dianggap benar oleh masyarakat.
Cikal bakal bento memang sudah dan atau sengaja dibentuk sejak dini. Itulah faktanya. Saya masih ingat betul tentang kisah seorang pelajar Sekolah Dasar di Provinsi Jawa Timur yang dipaksa gurunya untuk memberi tahu jawabannya kepada teman sekelas dalam sebuah Ujian Nasional.
Malang memang nasib anak Sekolah Dasar yang mencoba menegakan kebenaran tersebut. Alih-alih didukung oleh dewan guru dan masyarakat, tapi malah kenyataan pahit berupa pengusiran dan pertentangan dari masyarakat dan dewan guru yang ia terima.
Kini orang-orang berilmu dan berkompeten di era reformasi malah kian redup sinarnya ditelan dengan menjamurnya bento-bento. Berilmu kiranya memang tak cukup menjamin kesejahteraan untuk hidup di negeri para bento ini. Bergabung menjadi bento atau menjadi miskin karena tak sesuai dengan arus perkembangan jaman yang lebih condong kearah bento memang menjadi sebuah pilihan yang sulit.
Melihat realitas apa yang telah coba saya sampaikan sebelumnya, kiranya kita harusnya tak lagi  mengeluh ketika melambungnya harga BBM, bawang dan cabe rawit. Kita juga tak harusnya malu ketika negara lain sudah berbicara nuklir dan rudal antar benua tapi kita masih saja berkutat pada bawang merah dan cabe rawit. Lucu memang, tapi inilah sebuah fakta yang seringkali kita lupakan dari apa yang telah kita bidani sendiri.

4 comments:

  1. Mantab sekali bung Hendra....

    ReplyDelete
  2. negeri autopilot hen...
    miris juga saat pelaksanaan UN kemarin, banyak kejadian yg bikin ngelus dada
    ohhh jebule ganti jeneng tho

    ReplyDelete
    Replies
    1. ngeri tapi memang begitulah realitasnya slam... miris memang...

      Delete
  3. D'Nasib...
    Harus hidup di Negri BENTO...

    ReplyDelete