Oleh:
Hendrasyah Putra
Korupsi di
Indonesia memang seakan tak ada lagi ujung pangkalnya. Terus menerus muncul dan
berjalan sepanjang masa. Isu atau gagasan reformasi ataupun revolusi terhadap
penegakan hukum seakan menjadi pemanis bibir dan bahan dagangan para politisi
dan pengamat hukum.
Adalah
bagaimana perilaku korup itu sebenarnya sudah ada dan melekat disetiap lini
masyarakat Indonesia. Sebuah fakta menarik yang saya temukan adalah selevel
buruh bangunan rumah sekalipun bisa mengorupsi semen, besi dan paku demi alasan
pemenuhan kebutuhan keluarga.
Sewaktu saya
bertanya mengenai alasan utama untuk mendorong terciptanya perilaku korup itu
ternyata didorong oleh kondisi dimana yang lain juga seperti itu, maka ia pun
tak mengapa melakukan hal yang serupa.
Pada titik
ini saya melihat adanya sesuatu ketidakpercayaan antara masyarakat dengan
pemerintah. Ketidak percayaan itu memang tidak bisa ditebus dengan uang dan
perkataan, tetapi dari perilaku yang menjadi bukti atas telah adanya pekerjaan
yang berlandaskan kejujuran.
Adalah
menjadi sangat rumit ketika kasus bentrokan TNI-POLRI di Kepulauan Riau dilatarbelakangi perubatan lahan backing sektor usaha. Hal
tersebut memang tidak dibenarkan, tetapi saya pikir disetiap daerah masyarakat
sudah mengetahui hal tersebut memang ada dan sudah berlangsung lama dari
era-era pemerintahan sebelumnya.
Alasan
kesejahteraan prajurit memang menjadi salah satu isu yang dilemparkan ke publik
untuk menjadi solusi “permanen” atas terjadinya konflik klasik tersebut. Saya
pikir buruh bangunan diatas juga maklum atas kasus bentrokan TNI-POLRI tersebut
jika dilatarbelakangi masalah “kesejahteraan”, jadi tak mengapa jika dirinya
juga begitu.
Bisnis
backing TNI-POLRI hanyalah contoh kecil saja dari perilaku aparatur pemerintah
yang mendorong masyarakat juga untuk melakukan hal yang serupa. Bagi saya yang
menjadi paradoks adalah ketika perekrutan pimpinan KPK sendiri yang penuh
intrik dan kepentingan orang-orang tertentu itu sudah menjadi perbincangan
diwarung kopi, apalagi ditambah dengan adanya isu bahwa KPK tebang pilih dalam
pemberantasan korupsi. Entah benar entah tidak, allahuallam.
Dalam pada
itu, dengan kondisi carut marut seperti ini, kita kebanyakan terbawa dengan
eforia reformasi untuk membentuk lembaga baru dengan dalih lembaga yang lama
itu sudah terkontaminasi dan sudah tidak dipercaya oleh masyarakat.
Saya kira
mindset ini harus kita ubah dan kita runtuhkan, bahwa lembaga baru tentu
tidaklah bebas nilai, agaknya aneh bagi saya mencari lembaga yang betul-betul
bersih selain daripada tuhan itu sendiri. Menurut hemat saya perbaikan dan
pengawasan harus dikuatkan terhadap lembaga yang sudah ada tentunya lebih baik
dan efesien ketimbang membentuk lembaga baru.
Jika kita
bandingkan antara kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK tentu penyidik dan
jaksa-jaksa yang ada di KPK itu sendiri juga berasal dari dua lembaga tadi.
Bukan dalam konteks ingin membubarkan KPK, tetapi jika orang-orang yang bekerja
untuk KPK itu berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian, mengapa tidak dua lembaga
ini yang dikuatkan??? Bukankah orang-orang baik yang berada di Kejaksaan dan
Kepolisian juga banyak???
Jika kita
ingin memperdebatkan masalah perekrutan “komisoner” pengisi jabatan yang ada
pada setiap “komisi negara” dengan perekrutan CPNS, untuk sementara ini saya
berpendapat bahwa perekrutan cpns dengan metode komputerisasi saat ini lebih
baik dan transparan ketimbang perekrutan calon komisoner yang menurut saya penuh
dengan tanda tanya dan tidak transparan.
Berbicara
secara ekonomis, anggaran belanja negara tentunya akan lebih banyak tersedot untuk
memenuhi kebutuhan lembaga baru yang membutuhkan biaya belanja habis pakai dan
biaya belanja modal. Dan sebaliknya jika penghematan serta efesiensi dari
anggaran belanja negara akan dicapai apabila kita bisa mengoptimalkan kinerja
lembaga yang sudah ada.
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment