Monday, December 1, 2014

KORUPSI DIBELA KORUPSI DIPELIHARA


Oleh:
Hendrasyah Putra


Korupsi di Indonesia memang seakan tak ada lagi ujung pangkalnya. Terus menerus muncul dan berjalan sepanjang masa. Isu atau gagasan reformasi ataupun revolusi terhadap penegakan hukum seakan menjadi pemanis bibir dan bahan dagangan para politisi dan pengamat hukum.
Adalah bagaimana perilaku korup itu sebenarnya sudah ada dan melekat disetiap lini masyarakat Indonesia. Sebuah fakta menarik yang saya temukan adalah selevel buruh bangunan rumah sekalipun bisa mengorupsi semen, besi dan paku demi alasan pemenuhan kebutuhan keluarga.
Sewaktu saya bertanya mengenai alasan utama untuk mendorong terciptanya perilaku korup itu ternyata didorong oleh kondisi dimana yang lain juga seperti itu, maka ia pun tak mengapa melakukan hal yang serupa.
Pada titik ini saya melihat adanya sesuatu ketidakpercayaan antara masyarakat dengan pemerintah. Ketidak percayaan itu memang tidak bisa ditebus dengan uang dan perkataan, tetapi dari perilaku yang menjadi bukti atas telah adanya pekerjaan yang berlandaskan kejujuran.
Adalah menjadi sangat rumit ketika kasus bentrokan TNI-POLRI di Kepulauan Riau dilatarbelakangi  perubatan lahan backing sektor usaha. Hal tersebut memang tidak dibenarkan, tetapi saya pikir disetiap daerah masyarakat sudah mengetahui hal tersebut memang ada dan sudah berlangsung lama dari era-era pemerintahan sebelumnya.
Alasan kesejahteraan prajurit memang menjadi salah satu isu yang dilemparkan ke publik untuk menjadi solusi “permanen” atas terjadinya konflik klasik tersebut. Saya pikir buruh bangunan diatas juga maklum atas kasus bentrokan TNI-POLRI tersebut jika dilatarbelakangi masalah “kesejahteraan”, jadi tak mengapa jika dirinya juga begitu.
Bisnis backing TNI-POLRI hanyalah contoh kecil saja dari perilaku aparatur pemerintah yang mendorong masyarakat juga untuk melakukan hal yang serupa. Bagi saya yang menjadi paradoks adalah ketika perekrutan pimpinan KPK sendiri yang penuh intrik dan kepentingan orang-orang tertentu itu sudah menjadi perbincangan diwarung kopi, apalagi ditambah dengan adanya isu bahwa KPK tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Entah benar entah tidak, allahuallam.
Dalam pada itu, dengan kondisi carut marut seperti ini, kita kebanyakan terbawa dengan eforia reformasi untuk membentuk lembaga baru dengan dalih lembaga yang lama itu sudah terkontaminasi dan sudah tidak dipercaya oleh masyarakat.
Saya kira mindset ini harus kita ubah dan kita runtuhkan, bahwa lembaga baru tentu tidaklah bebas nilai, agaknya aneh bagi saya mencari lembaga yang betul-betul bersih selain daripada tuhan itu sendiri. Menurut hemat saya perbaikan dan pengawasan harus dikuatkan terhadap lembaga yang sudah ada tentunya lebih baik dan efesien ketimbang membentuk lembaga baru.
Jika kita bandingkan antara kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK tentu penyidik dan jaksa-jaksa yang ada di KPK itu sendiri juga berasal dari dua lembaga tadi. Bukan dalam konteks ingin membubarkan KPK, tetapi jika orang-orang yang bekerja untuk KPK itu berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian, mengapa tidak dua lembaga ini yang dikuatkan??? Bukankah orang-orang baik yang berada di Kejaksaan dan Kepolisian juga banyak???
Jika kita ingin memperdebatkan masalah perekrutan “komisoner” pengisi jabatan yang ada pada setiap “komisi negara” dengan perekrutan CPNS, untuk sementara ini saya berpendapat bahwa perekrutan cpns dengan metode komputerisasi saat ini lebih baik dan transparan ketimbang perekrutan calon komisoner yang menurut saya penuh dengan tanda tanya dan tidak transparan.

Berbicara secara ekonomis, anggaran belanja negara tentunya akan lebih banyak tersedot untuk memenuhi kebutuhan lembaga baru yang membutuhkan biaya belanja habis pakai dan biaya belanja modal. Dan sebaliknya jika penghematan serta efesiensi dari anggaran belanja negara akan dicapai apabila kita bisa mengoptimalkan kinerja lembaga yang sudah ada.

0 Komentar, saran silahkan disini:

Post a Comment