OLEH
HENDRASYAH PUTRA
Kejahatan
luar biasa, mungkin dibenak kita hanya ada terorisme, korupsi dan narkotika. Beberapa
hari yang lalu kejaksaan telah melakukan eksekusi hukuman mati bagi para pelaku
kejahatan narkotika yang telah diputuskan bersalah oleh pengadilan.
Sebelum
dilakukannya eksekusi mati, duta besar Belanda dan Brasil sempat mempertanyakan
hukuman mati tersebut dan mengenai ditolaknya grasi bagi terpidana mati
narkotika yang berasal dari Belanda dan Brasil. Walau demikian pemerintah Indonesia
tetap tegas dalam penegakan hukum kejahatan narkotika dan menyatakan bahwa kedaruratan
peredaran narkoba di Indonesia membahayakan masa depan Indonesia, hal inipun
mendapat reaksi dari pemerintah Belanda dan Brasil, kedua negara ini kemudian memanggil
duta besarnya dari Indonesia.
Selain
kasus narkotika, sebelumnya kejaksaan juga telah melakukan eksekusi hukuman mati
bagi terpidana terorisme. Hukuman yang menurut saya keras ini memang kiranya
pantas jika dihadapkan dengan kejahatan yang luar biasa.
Tapi bagaimana
dengan pelaku tindak pidana korupsi? Sampai saat ini saya belum pernah
mendapati pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman pidana mati. Dalam pengamatan
saya terpidana korupsi malah sering dijatuhi vonis hukuman penjara dibawah lima
tahun yang mana hukuman tersebut lebih cenderung mencerminkan tindak pidana ringan
dimana ancaman hukumannya dibawah lima tahun.
Kita tentunya masih ingat dengan kasus Gayus Tambunan
yang bisa “kabur” dari Rutan Brimob kelapa dua dan kemudian keluyuran menonton
pertandingan tenis di Bali dengan kacamata dan wig nya. Belum lagi perihal
fasilitas mewah terpidana korupsi dilapas suka miskin hasil sidak dari Deny
Indrayana yang ditayagkan Metro TV pada program Mata Najwa.
Saya pun
meragukan bahwa korupsi menjadi kejahatan yang luar biasa dinegeri ini. Fakta dimana
pelaku kejahatan korupsi ini diperlakukan “lebih manusiawi” jika dibandingan
pelaku tindak pidana ringan seperti maling ayam, motor atau copet yang harus
menghadapi peradilan jalanan dimana hukuman mati seperti dibakar atau dipukuli “sepuasnya”
menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi.
Fakta unik dimana
tersangka korupsi dikawal dan diberi pakaian atau rompi khusus tahanan korupsi
oleh KPK/Kejaksaan sangat berbeda jauh dengan penjahat seperti maling ayam,
motor atau copet yang kadang hanya menggunkan pakaian dalam dan kadang harus
berjalan jongkok ketika digelandang menuju kantor polisi.
Kitapun
rasanya sudah tak asing lagi ketika pihak Kepolisian menembak kaki pelaku
kejahatan seperti maling ayam, motor atau copet yang berusaha melarikan diri
dari kejaran Polisi. Hal ini tentu sangat berbanding terbalik dengan tersangka
Korupsi yang ketika berusaha kabur dari kejaran pihak kepolisian/Kejaksaan
tidak pernah ditembak kakinya.
Pada titik
ini saya melihat bahwa dimana semakin besar kerugian yang timbul maka
berbanding lurus dengan perlakuan baik yang diterima oleh pelaku kejahatan dan
sebaliknya juga jika kerugian yang ditimbulkan kecil maka berbanding lurus
dengan perlakuan kasar atau buruk yang diterima oleh pelaku kejahatan.
Mungkin benar
kata pepatah bahwa “Pengetahuan bernilai lebih banyak dari emas”. Setidaknya
kita bisa melihat bahwa tingkat pendidikan dalam melakukan tindak pidana itu
sangat berpengaruh juga atas hukuman dan perilaku baik atau buruk yang kelak
mereka akan terima pada konteks Indonesia kekinian. Karena menurut pendapat
saya para pelaku korupsi tentunya kebanyakan mengenyam pendidikan tinggi atau bisa
dikatakan cerdas dalam bertindak jika dibandingkan maling ayam, motor atau copet.
Pada titik
ini saya mencoba menjernihkan fikiran dan berusaha melihat fakta-fakta
perlakuan yang diberikan kepada pelaku kejahatan korupsi dan tindak pidana
ringan ini. Jadi yang manakah sebenarnya yang masuk dalam golongan kejahatan
luar biasa itu???
0 Komentar, saran silahkan disini:
Post a Comment