Monday, December 26, 2011

REFLEKSI AKHIR TAHUN (KEMBALI KE FITRAH)


Oleh: Hendrasyah Putra


Refleksi akhir tahun. Ya begitulah kira-kira ide yang terlintas di pikiran saya ketika dihadapkan dengan masa-masa penghujung tahun seperti saat ini. Tulisan ini sejatinya ingin mengambarkan cerminan Indonesia masa lalu dan harapan saya terhadap Indonesia kedepannya seperti kata-kata “kembali ke fitrah” diatas.
Pada kesempatan kali ini, sebelumnya ijinkan saya untuk mengucapkan keprihatinan saya atas kejadian di Bima dan Mesuji (Lampung). Untuk itu, dari hati saya yang paling dalam saya mendo’akan agar para korban dari peristiwa tersebut mendapat tempat yang layak disisi Tuhan Yang Maha Esa dan semoga pertumpahan darah yang telah membasahi bumi Indonesia ini tidak kembali terulang.
Baiklah, kembali pada tulisan kali ini dan pada artikel-artikel sebelumnya, sesungguhnya saya ingin memberikan sisi lain dari keterfokusan kita selama ini kepada struktur dan substansi. Kultur, adalah dimana saya lebih menekankan sudut pandang dari semua artikel-artikel saya.

Sunday, December 18, 2011

TIDAK CUKUP BIJAK


Oleh: Hendrasyah Putra

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berbincang-bincang dengan rekan-rekan saya yang kebetulan mengabdikan dirinya sebagai pelayan publik. Dalam kesempatan itu, saya sempat bertanya dan menceritakan kritikan saya tentang buruknya pelayanan publik di negeri ini dalam sebuah tulisan saya yang berjudul “Buku Ikhlas”. 
Dalam perbincangan itu, saya juga menceritakan secara umum kritikan saya terhadap perilaku playan publik dalam hal pungutan liar dan pamrih dalam melayani masyarakat .
Perbincanganpun kemudian berlangsung menarik, tanpa kami sadari perbincangan itu menjadi sebuah diskusi yang mengasikkan. Dalam diskusi tersbut saya mencoba mengemukakan pendapat saya seperti yang saya tuliskan dalam tulisan saya diatas. Menurut hemat saya faktor penyakit hati adalah penyebab munculnya pungutan liar  dan pamrih dalam pelayanan publik.
Disisi lain, dalam diskusi tersebut saya pun mendapatkan fenomena baru dimana munculnya biaya administrasi (versi pelayan publik) adalah disebabkan oleh karena adanya “kebijakan”.

Wednesday, December 7, 2011

STATUSKU (YANG SETIA DENGAN KEJUJURAN)


Oleh: Hendrasyah Putra

Tulisan kali ini sejatinya secara tak sengaja terinspirasi dari status yang saya buat pada akun sosial media milik saya. Kejadiannyapun sangat begitu spontan. Diawali dengan sebuah telepon pemberitahuan dari rekan kerja saya dan semua unek-unek yang ada dalam hati inipun tertuang begitu saja dalam kata-kata yang tertulis dalam status itu.
Isi dari status itu sendiri secara garis besar adalah dimana saya mengatakan saya bisa lulus ujian untuk mendapatkan kualifikasi tertentu dengan cara yang jujur. Selain itu, dalam status itu berisikan pula pendapat saya yang meremehkan orang-orang yang dengan cara curang untuk mendapatkan kualifikasi itu.
Dalam tulisan kali ini, saya memang sengaja tidak memberikan dengan jelas ujian apa yang saya ikuti dan kualifikasi apa yang saya dapati atas kelulusan itu. Hal ini sendiri sengaja saya lakukan mengingat Indonesia dalam “konteks kekininan” belum siap untuk menerima kenyataan atau lebih tepatnya dalam bahasa populernya “buruk rupa cermin dibelah”.

Sunday, December 4, 2011

GAYA INDONESIA


Oleh: Hendrasyah Putra

Gaya Indonesia. Terdengar bisikan “suka berperkara” secara spontan dari hati kecil ini. Apakah benar demikian gaya orang Indonesia? Mungkin terlalu ekstrem apa yang saya katakan itu, bukannya tanpa alasan, bagi saya fenomena yang sering tampil menjadi hot topik dalam pemberitaan bisa menjawab pertanyaan saya itu.
Suka berperkara, setidaknya hal ini menjadi temuan saya ketika membaca artikel yang berjudul “Kebutuhan Jasa Pengacara Meningkat di Indonesia” (www.businessnews.co.id).
Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa Peningkatan perkara korupsi di Indonesia yang dibawa ke pengadilan memberi dampak multiplier effect terhadap kebutuhan jasa pengacara. Temuan Transparency International (TI) menyebutkan IPK Indonesia menduduki posisi ke-110 dari 178 negara yang disurvei.
Ketika membaca artikel tersebut, saya agak merasa aneh ketika membaca pemberitaan yang bersisikan “Sehingga pengacara papan atas seperti OC Kaligis mengakui bahwa semakin banyak masyarakat sadar hukum, sementara negara masih belum bisa memberi rasa keadilan. “Orang datang ke sini (kantor Kaligis) hampir setiap hari, kami tidak pernah cari client. Sampai hari ini, orang masih minta terus (jasa pengacara). Pengabdian itu, kalau saya masih sanggup, saya teruskan. Saya tidak bisa menolak, walaupun staf saya juga kadang bingung dengan kesediaan saya (menerima mereka) terus menerus”.
Dalam artikel itu, saya coba untuk menggali lebih jauh mengenai kesadaran hukum masyarakat yang dimaksud itu. Memang secara teoritis kesadaran hukum itu sendiri dibagi menjadi dua. Pertama adalah kesadaran hukum postif dimana kita lebih mengenalnya dengan istilah ketaatan hukum. Kemudian yang kedua adalah kesadaran hukum negatif, dimana identik dengan  ketidaktaatan hukum yang bisa disebabkan ketidaktahuan atau seseorang tahu perbuatannya salah tapi tetap dilakukan juga.