Sunday, November 24, 2013

ATAS NAMA PRAGMATISME JANGAN BAWA DEMOKRASI

Gambar: www.republika.co.id

Oleh: Hendrasyah Putra

Belakangan dunia persepakbolaan nasional kembali menunjukan gairahnya. Adalah kesuksesan tim nasional U-19 Indonesia yang bisa mengakhiri puasa gelar. Selain mengakhiri puasa gelar, tim nasional u-19 Indonesia juga menampilkan permainan yang menarik dan enak untuk di tonton.
Orientasi hasil dan bermain cantik pun menjadi sebuah kolaborasi nan indah di kala dahaga permainan yang indah dan hasil yang baik tak kunjung didapat oleh Tim Nasional Senior.
Adalah Indra Sjafri, seorang pelatih yg bagi saya pribadi tidak begitu terkenal tapi bisa menunjukan bahwa dengan “pengoperasian” sistem persepakbolaan yang baik maka akan menghasilkan sepak bola yang baik, yang indah dan tentunya dapat menghadirkan gelar juara.
Dalam sebuah acara talk show Hitam-Putih  di salah satu stasiun televisi Swasta, Ia bercerita bahwa betapa kecewa dirinya dikala dahulu ketika beliau masih diusia produktif sebagai pemain sepak bola tapi tidak bisa berkembang dan juga tak berkesempatan berpartisipasi mengisi skuad tim nasional senior. Ia juga mengeluhkan bahwa sesungguhnya talenta-talenta terbaik anak bangsa ini begitu banyak, tapi sayangnya tidak bisa berkembang dan mati akibat buruknya “pengoperasian” sistem persepakbolaan Indonesia kala itu.
Ia juga sempat bercerita bahwa dahulu kala untuk masuk sebagai pemain tim nasional ternyata skill dan integritas saja tidak cukup, tetapi juga dengan uang dan kedekatan. Selain itu ia juga sempat mengungkap bahwa dahulu tim nasional selalu diisi orang-orang dari JABODETABEK.
Jika memang benar apa yang dikatakan oleh Indra Sjafri, maka bagi saya buruknya prestasi sepak bola Indonesia adalah hal yang pantas didapat dari sebuah proses yang tidak baik seperti itu.
Beranjak dari “curhatan” Indra Sjafri pada acara talk show itu, dengan melihat lebih dekat dalam konteks Indonesia yang kekinian kiranya pengalaman buruk Indra Sjafri tersebut juga berlaku pada saat sekarang ini.
 Buruknya pengelolaan anggaran negara, pelayanan publik, penegakan hukum dan pelaksanaan pesta demokrasi tentunya menjadi tanda tanya besar bagi Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang cukup besar.
Dalam pemikiran saya, adalah sangat aneh negara kita yang memiliki jumlah penduduk sekitar 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta) orang ini tidak bisa menelurkan manusia-manusia yang memiliki integritas?

Tuesday, July 23, 2013

ATAS NAMA RAKYAT?



sumber gambar: www.jatiluhuronline.com/2011/04/opini-anda.html
 
Oleh: Hendrasyah Putra

Belakangan ini kreatifitas untuk menulis saya seakan terkungkung oleh sebuah pertanyaan itu-itu saja. Kata-kata “Atas nama rakyat” seakan memberikan sebuah jawaban yang abstrak atas kebuntuan ini.
Dari politikus, kelompok masyarakat, cendikiawan, ulama, partai politik, LSM, lembaga penegak hukum, pemerintah dan DPR selalu mengatasnamakan rakyat ketika bertindak dan memutuskan sebuah kebijakan.
Sebuah alasan klasik yang begitu abstrak, mengingat kata-kata rakyat berujung pada indikator “anonim” yang tentunya begitu mudah untuk dicatut dalam hal apapun. Pertanyaan pun mulai muncul ketika pihak lain yang merasa “terganggu” dengan kata-kata atas nama rakyat tersebut membalas dengan ucapan “rakyat yang mana?”
Berbicara Indonesia pada suatu sisi sosiologis, seakan-akan tak akan pernah habis dibicirakan dan dituangkan dalam sebuah tulisan. Tapi ketika kita mencoba melihat lebih dalam lagi mengenai akar permasalahan yang menjadi biang keladi keburukan di Indonesia seakan hal itu sudah bisa kita finalkan tentang pragmatisme yang begitu akrab dengan masyarakat.
Sempat terpikir oleh saya bahwa kata-kata rakyat tersebut hanya menjadi komoditas pemanis kepentingan. Rakyat yang kemudian sangat diidientikan dengan golongan yang termarginalkan dari satu sisi terbut kemudian menjadi sorotan yang kemudian diblow-up sehingga sempurnalah tujuan dari si pemilik kepentingan.
Masyarakat mungkin menyadari hal tersebut. Saya pikir adagium masyarakat Indonesi kini sudah cerdas bisa menjawab hal tersebut. Masalahnya adalah bagaimana mungkin masyarakat yang cerdas tersebut hanya diam ketika kecurangan jelas-jelas begitu telanjang didepan mata?

Tuesday, June 4, 2013

MITOS JAJAHAN BELANDA



Sumber gambar : http://carabineri.wordpress.com

Oleh: Hendrasyah Putra

Kita tentutnya sudah tak asing lagi dengan istilah “Otak Belande” (istilah Melayu Pontianak). Walaupun saya bukan seorang ahli bahasa, bagi saya yang awam ini istilah tersebut berarti sebuah perilaku licik, curang dan bermuara kepada suatu perilaku buruk. Anggapan tersebut muncul sebagaimana sejarah yang mengajarkan kita tentang bagaimana Belanda mengadu domba pribumi pada masa kolonial dengan berbagaimacam daya dan upaya.
Iwan Fals pernah mempopulerkan istilah “Bento” melalui lagunya yang sangat melegenda itu. Melihat lirik Bento, saya jadi berfikir bahwa istilah “Bento” dan “Otak belande” ini memiliki sebuah kemiripan dalam hal keburukan dimana seseorang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Dalam konteks kekinian, saya seringkali mendengar masyarakat menyalahkan Belanda yang pernah menjajah Indonesia sehingga perilaku-perilaku “Bento” lebih dominan daripada perilaku Pancasila. Disisi lain masyarakat kerapkali membandingkan negara-negara bekas jajahan Inggris yang “konon” lebih maju, beradab dan bermartabat.

Secara pribadi, sebenarnya saya agak kurang sependapat dengan masyarakat yang terlalu mengkambing-hitamkan Belanda atas menjamurnya perilaku “Bento” serta ketertinggalan Indonesia dari negara-negara bekas jajahan Inggris. Pada titik ini, tentu ada baiknya kita merujuk sejarah dan melihat seberapa jauh penetrasi dari Belanda dalam hal memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat Indonesia.
MENGIKUTI BUDAYA LOKAL
Pada kesempatan ini, saya ingin memfokuskan masuknya penetrasi asing khususnya Belanda terhadap Indonesia diera tahun 1500. Berikut adalah data-data sejarah yang saya rangkum serta saya edit untuk memperpendek alur tulisan dari buku yang berjudul “Peperangan Kerajaan Di Niusantara” oleh Capt. R.P. Suyono.
“Pada tahun 1596, organisasi dagang Belanda Companie van Verre yang dipimpin Cornelis de Houtman dengan empat buah kapal, diawaki 250 orang dan dilengkapi dengan 100 meriam berlabuh di Banten.
Cornelis de Houtman dan awaknya ketika itu tidak mendapat sambutan yang baik dari Portugis dan tentunya penduduk setempat. Bahkan ketika Cornelis de Houtman datang menghadap Bupati Jayanagara, ia dan beberapa pengawalnya ditangkap.
Karena Cornelis de Houtman mendapatkan perlakuan buruk oleh Bupati Jayanagara, hal  ini memicu kemarahan anak buah Cornelis de Houtman. Akhirnya setelah anak buahnya melakukan bombardir terhadap Banten dan juga tentunya memberikan “tebusan”sebanyak 4.500 gulden, Cornelis de Houtman pun dibebaskan.
Cornelis de Houtman  mungkin bisa dianggap gagal dalam misi perdagangannya, tetapi tidak untuk misi eksepedisi penemuan nusantara. Pada tahun 1598, pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia yang dipimpin oleh Admiral Van Neck. Nasib sang admiral mungkin sedang beruntung, karena ketika itu Portugis baru saja diusir dari Banten.
Tak ada makan siang yang gratis, mungkin orang-orang dahalu telah mengenal dan lebih paham dengan istilah ini. Admiral Van Neck yang menghadap Bupati Jayanagara ketika itu diharuskan membayar dimuka sejumlah 10.000 gulden serta harus membayar beberapa ratus gulden ke syahbandar.
Kegagalan Cornelis da Houtman mengajarkan Van Neck untuk tidak jatuh kelubang yang sama. Van Neck menyanggupi biaya yang dikenakan Bupati Jayanagara dan syahbandar. Atas kesanggupannya untuk membayar apa yang telah ditetapkan Bupati, akhirnya ia dibebaskan untuk melakukan aktifitas perdagangan.
Ketika rempah-rempah yang hendak dibawa ke negeri Belanda telah penuh, Van Neck pun segera pergi untuk kembali ke negeri Belanda, ia juga tak lupa mengikuti “budaya lokal” ketika itu untuk memberikan “upeti” kepada raja Banten yang ketika itu masih berumur 3 tahun. Kontan saja Van Neck makin diterima oleh kerjaan Banten dan masyarakat”.

Wednesday, May 15, 2013

BENTO DAHULU DAN KINI

sumber gambar :http://dhekafirdaus.wordpress.com/2012/03/


Oleh : Hendrasyah Putra


Bento, sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Iwan Fals. Siapa yang tak kenal lagu ini, musik dan lirik yang begitu asik sering kali didendangkan oleh masyarakat walaupun kadang tak sadar akan pesan moral yang terkandung dalam liriknya.
Bento, dahulu orang-orang mengatakan istilah tersebut diapakai sebagai adagium untuk menyindir Mantan Presiden Soeharto dan antek-anteknya. Kata orang, bento kepanjangan dari “benteng Soeharto”. Walaupun tak jelas juga sumber yang bisa mengungkapkan arti bento tersebut, tapi bagi saya lagu bento berarti sebuah kritikan bagi penguasa-penguasa yang tidak bermoral.
Dahulu korupsi, kolusi, nepotis serta kejahatan HAM berat selalu berada dalam epicentrum penguasa Orde Baru. Hal-hal tersebut hampir kasat mata mengingat pembredelan media dan tentunya pembatasan hak-hak untuk mengeluarkan suara dibatasi secara ketat.
Meskipun demikian, tetap saja ada pejuang-pejuang yang memiliki keberanian untuk tetap bersuara lantang menyuarakan keadialan dan kebenaran. Resiko seperti ancaman penculikan bahkan kematian sekalipun menjadi ganjaran yang setimpal bagi orang-orang yang dianggap sebagai pembakang ini.
Ketika masa jayanya, Bento-bento bebas berkeliaran dan berbuat sesuka hati tanpa harus takut ada kamera dan pena-pena yang memberitakan perilaku buruk mereka. Hukum seakan mati, karena memang hukum buatan manusia sesungguhnya tak lebih dari sebuah alat politik yang dijadikan alat pembenar dan sekaligus menajdi alat pemusnah lawan-lawan politik.
Tapi tak ada yang abadi dimuka bumi ini, zaman berganti, seluruh element masyarakat tergerak untuk melawan dan melakukan perubahan terhadap tindakan yang “tidak memanusiakan manusia”. Para bento pun lari terbirit-birit. Walaupun sempat berkonsolidasi, tapi ternyata gerakan reformasi lebih solid dan kompak dan akhirnya tak bisa lagi dibendung para bento.
Bento-bento pun tiba-tiba menghilang seakan mati seketika ditelan munculnya era reformasi. Bento oh bento, mungkinkah dikau mati suri dan menunggu era diamana engkau akan dibangkitkan lagi.

Tuesday, April 30, 2013

Lobi Menentukan Posisi



Gambar: http://craigpearce.info


Oleh: Hendrasyah Putra


Sekitar pertengahan tahun 2008, saya jadi teringat ketika dalam perjalanan dari Jakarta menuju  Pontianak. Dalam perjalanan menggunakan pesawat udara itu saya menyepatkan diri untuk membaca sebuah media cetak nasional ternama yang memang disediakan untuk penumpang.
Dalam kondisi agak sedikit mengantuk dan kelelahan kedua bola mata saya tertuju pada sebuah artikel yang berjudul “Lobi Yang Bertanggung Jawab”.
Sayapun kemudian membaca keseluruhan artikel tersebut untuk mengetahui substansi yang ingin disampaikan penulisnya. Ketika selesai membaca artikel tersebut, memang substansi yang yang ingin disampaikan oleh sipenulis tak jauh dari judul yang sebenarnya sangat mudah untuk kita pahami bersama.
Unsur-unsur kebaikan dan tanggungjawab adalah hal yang diusung dalam tulisan tersebut, dan tentunya Ia juga ingin mengingatkan kita bahwa lobi itu bukanlah suatu hal yang negatif, hal yang positif juga tentunya butuh lobi. Mungkin kira-kira seperti itu substansi yang bisa saya tangkap dalam artikel tersebut.

Hanya Sebuah Formalitas
Ketika belakangan sebuah akun twitter TrioMacan2000 (TM2000) menjadi perbincangan didunia maya dan pemberitaan dilayar kaca, sayapun penasaran ingin melihat tweet yang disampaikan akun tersebut.
Melalui situs http://chirpstory.com, saya dengan mudah untuk melihat rangkuman tweet-tweet dari pengguna tweeter yang didokumentasikan oleh situs tersebut.
Iseng-iseng membaca tweet TM2000, saya malah membaca sebuah kumpulan tweet yang berjudul "Kenangan Sewaktu Mencalonkan Diri Sebagai Ketua KPK" by @Dedhi_Suharto .
Isi dari kumpulan tweet tersebut bagi saya tak lebih dari curhatan seseorang yang pernah mengikuti seleksi Calon Pimpinan KPK jilid III. Dalam kumpulan tweet tersebut, memang terungkap bahwa Si Pengguna akun tersebut agak sedikit kecewa dengan seleksi tersebut.
Kata-kata “Memang hasil seleksinya bagus. Tapi mbok ya gak usah pake nulis makalah 4 jam segala kalo sudah ada orang2 yg ditarget lolos” saya kira cukup mengusik sebuah jargon integritas dan independen yang selama ini cukup lekat dengan lembaga tersebut..