Monday, December 26, 2011

REFLEKSI AKHIR TAHUN (KEMBALI KE FITRAH)


Oleh: Hendrasyah Putra


Refleksi akhir tahun. Ya begitulah kira-kira ide yang terlintas di pikiran saya ketika dihadapkan dengan masa-masa penghujung tahun seperti saat ini. Tulisan ini sejatinya ingin mengambarkan cerminan Indonesia masa lalu dan harapan saya terhadap Indonesia kedepannya seperti kata-kata “kembali ke fitrah” diatas.
Pada kesempatan kali ini, sebelumnya ijinkan saya untuk mengucapkan keprihatinan saya atas kejadian di Bima dan Mesuji (Lampung). Untuk itu, dari hati saya yang paling dalam saya mendo’akan agar para korban dari peristiwa tersebut mendapat tempat yang layak disisi Tuhan Yang Maha Esa dan semoga pertumpahan darah yang telah membasahi bumi Indonesia ini tidak kembali terulang.
Baiklah, kembali pada tulisan kali ini dan pada artikel-artikel sebelumnya, sesungguhnya saya ingin memberikan sisi lain dari keterfokusan kita selama ini kepada struktur dan substansi. Kultur, adalah dimana saya lebih menekankan sudut pandang dari semua artikel-artikel saya.

Sunday, December 18, 2011

TIDAK CUKUP BIJAK


Oleh: Hendrasyah Putra

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berbincang-bincang dengan rekan-rekan saya yang kebetulan mengabdikan dirinya sebagai pelayan publik. Dalam kesempatan itu, saya sempat bertanya dan menceritakan kritikan saya tentang buruknya pelayanan publik di negeri ini dalam sebuah tulisan saya yang berjudul “Buku Ikhlas”. 
Dalam perbincangan itu, saya juga menceritakan secara umum kritikan saya terhadap perilaku playan publik dalam hal pungutan liar dan pamrih dalam melayani masyarakat .
Perbincanganpun kemudian berlangsung menarik, tanpa kami sadari perbincangan itu menjadi sebuah diskusi yang mengasikkan. Dalam diskusi tersbut saya mencoba mengemukakan pendapat saya seperti yang saya tuliskan dalam tulisan saya diatas. Menurut hemat saya faktor penyakit hati adalah penyebab munculnya pungutan liar  dan pamrih dalam pelayanan publik.
Disisi lain, dalam diskusi tersebut saya pun mendapatkan fenomena baru dimana munculnya biaya administrasi (versi pelayan publik) adalah disebabkan oleh karena adanya “kebijakan”.

Wednesday, December 7, 2011

STATUSKU (YANG SETIA DENGAN KEJUJURAN)


Oleh: Hendrasyah Putra

Tulisan kali ini sejatinya secara tak sengaja terinspirasi dari status yang saya buat pada akun sosial media milik saya. Kejadiannyapun sangat begitu spontan. Diawali dengan sebuah telepon pemberitahuan dari rekan kerja saya dan semua unek-unek yang ada dalam hati inipun tertuang begitu saja dalam kata-kata yang tertulis dalam status itu.
Isi dari status itu sendiri secara garis besar adalah dimana saya mengatakan saya bisa lulus ujian untuk mendapatkan kualifikasi tertentu dengan cara yang jujur. Selain itu, dalam status itu berisikan pula pendapat saya yang meremehkan orang-orang yang dengan cara curang untuk mendapatkan kualifikasi itu.
Dalam tulisan kali ini, saya memang sengaja tidak memberikan dengan jelas ujian apa yang saya ikuti dan kualifikasi apa yang saya dapati atas kelulusan itu. Hal ini sendiri sengaja saya lakukan mengingat Indonesia dalam “konteks kekininan” belum siap untuk menerima kenyataan atau lebih tepatnya dalam bahasa populernya “buruk rupa cermin dibelah”.

Sunday, December 4, 2011

GAYA INDONESIA


Oleh: Hendrasyah Putra

Gaya Indonesia. Terdengar bisikan “suka berperkara” secara spontan dari hati kecil ini. Apakah benar demikian gaya orang Indonesia? Mungkin terlalu ekstrem apa yang saya katakan itu, bukannya tanpa alasan, bagi saya fenomena yang sering tampil menjadi hot topik dalam pemberitaan bisa menjawab pertanyaan saya itu.
Suka berperkara, setidaknya hal ini menjadi temuan saya ketika membaca artikel yang berjudul “Kebutuhan Jasa Pengacara Meningkat di Indonesia” (www.businessnews.co.id).
Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa Peningkatan perkara korupsi di Indonesia yang dibawa ke pengadilan memberi dampak multiplier effect terhadap kebutuhan jasa pengacara. Temuan Transparency International (TI) menyebutkan IPK Indonesia menduduki posisi ke-110 dari 178 negara yang disurvei.
Ketika membaca artikel tersebut, saya agak merasa aneh ketika membaca pemberitaan yang bersisikan “Sehingga pengacara papan atas seperti OC Kaligis mengakui bahwa semakin banyak masyarakat sadar hukum, sementara negara masih belum bisa memberi rasa keadilan. “Orang datang ke sini (kantor Kaligis) hampir setiap hari, kami tidak pernah cari client. Sampai hari ini, orang masih minta terus (jasa pengacara). Pengabdian itu, kalau saya masih sanggup, saya teruskan. Saya tidak bisa menolak, walaupun staf saya juga kadang bingung dengan kesediaan saya (menerima mereka) terus menerus”.
Dalam artikel itu, saya coba untuk menggali lebih jauh mengenai kesadaran hukum masyarakat yang dimaksud itu. Memang secara teoritis kesadaran hukum itu sendiri dibagi menjadi dua. Pertama adalah kesadaran hukum postif dimana kita lebih mengenalnya dengan istilah ketaatan hukum. Kemudian yang kedua adalah kesadaran hukum negatif, dimana identik dengan  ketidaktaatan hukum yang bisa disebabkan ketidaktahuan atau seseorang tahu perbuatannya salah tapi tetap dilakukan juga.

Monday, November 28, 2011

Butuh Pendidikan Moral



Oleh: Hendrasyah Putra

Eforia dan keributan, dua hal yang selalu berdampingan menghiasi berbagai peristiwa di negeri ini. Bangsa ini pun seakan sudah begitu maklum dengan keributan yang selalu timbul mengiringi sebuah eforia. Ketika eforia masyarakat sampai pada klimaksnya terhadap pencapaian tim sepak bola Indonesia, kisruh tentang buruknya penjualan tiket sampai dengan aksi para pembeli tiket yang paling kuatlah yang mendapatkan tiket seakan menjadi pasangan yang begitu serasi di negeri ini.
Berbicara masalah budaya antre, Saya jadi teringat ketika masih duduk dibangku SD dan SMP dimana untuk masuk keruangan kelas siswa diharuskan terlebih dahulu berbaris rapi. Guru pengajar memperhatikan dengan jeli barisan siswa yang hendak masuk keruangan. Makin rapi dan tertib barisan, maka makin cepat pula kami masuk keruangan kelas untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Jika melihat pengalaman itu, saya pikir kita semuua sudah tau tentang baiknya menjaga ketertiban dan keteraturan.
Ketika jaman orde baru, dahulu kita mengenal yang namanya penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Ketika pertama kali masuk SMP, saya masih sempat mendapatkan penataran P4. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya apa pentingnya hal itu. Mungkin ketika pancasila yang pada saat itu menjadi asas tunggal di negeri ini, menjadi suatu keterpaksaaan untuk mengikuti penataran P4 itu.
Terlepas dari segala kontroversi tentang penerapan pancasila sebagai azas tunggal, saya pribadi mempunyai pengalaman tersendiri ketika mengikuti penataran P4 yang diwajibkan itu. Ketika mengikuti penataran itu, secara umum kami diajarkan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, tolong menolong, saling menghormati dan musyawarah mufakat.
Selain itu, kami juga diajarkan untuk membedakan mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajiban. Dahulu saya sempat berfikir, apa pentingnya hal itu. Ketika itu muncul pertanyaan dalam hati saya, kenapa kegiatan belajar mengajar tidak langsung dilaksanakan? Kenapa harus bertele-tele dan kembali diajarkan hal-hal yang dahulu pernah saya pelajari ketika SD dalam pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)?
Kini pertanyaan saya itu sedikit demi sedikit sudah mulai terjawab dengan perilaku buruk bangsa ini. Kini begitu mengerikan. Degradasi moral, itulah kira-kira yang coba saya gambarkan dari perilaku buruk yang selalu menghiasi pemberitaan utama di televisi. Semangat akan selaras akan alam dan semangat akan kekeluargaan kini hanya menjadi pemanis dalam iklan komersial ditelevisi.
Dasar negara kita memang masih tetap Pancasila. Upacara hari-hari besarpun tetap dibacakan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan pancasila. Tapi hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan tragedi final sepak bola SEA Games 2011yang memakan korban.
Targedi itupun menimbulkan aksi saling menyalahkan yang sering kali dipertontonkan oleh bangsa ini. Penonton menyalahkan panitia yang tidak profesional dalam menyelenggarakan dan tentunya  panitia juga tak mau kalah, bagi panitia kesalahan penonton yang tidak mempunyai tiket ikut antre untuk masuk ke stadion Gelora Bung Karno sehingga menyebabkan perebutan untuk masuk kedalam stadion menjadi semeraut dan berakhir chaos.
Saya hanya bisa mengerutkan kening dan menaikan alis ketika membaca berita disalah satu media cetak onliane yang berjudul “Penjualan Bellagio Ricuh, 4 Orang Pingsan, 1 Patah Tulang” (www.kompas.com). Dalam berita tersebut, diceritakan bahwa kericuhan dalam pembeliaan alat komunikasi itu di picu oleh gelang sebagai penanda sebagai calon pembeli yang sah tidak berlaku lagi. Sehingga antrean yang telah dibuat pun berubah menjadi chaos bagaikan singa dan hyna yang berebut daging hewan buruan.
Perilaku seperti ini kiranya berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan jasa advocat di negeri ini. Dalam artikel yang berjudul “Kebutuhan Jasa Pengacara Meningkat di Indonesia” (www.businessnews.co.id) diberitakan bahwa Peningkatan perkara korupsi di Indonesia yang dibawa ke pengadilan memberi dampak multiplier effect terhadap kebutuhan jasa pengacara. Temuan Transparency International (TI) menyebutkan IPK Indonesia menduduki posisi ke-110 dari 178 negara yang disurvei. Dalam pemberitaan tersebut dikatakan pula bahwa tingginya kebutuhan akan advocat menjadi sebuah indikator tentang tingginya tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Hal seperti ini menjadi mengerikan. Menjadi mengerikan dimana apa yang dibutuhkan bangsa ini adalah advocat yang diharapkan bisa menyelesaikan perkara-perkara yang timbul. Dan menjadi sangat mengerikan dimana fenomena penggunaan jasa advocat ini dinyatakan menjadi sebuah indikator tingginya tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Bagaimana mungkin masyarakat dikatakan sadar hukum jika masyarakat sangat suka bersengketa. Bagamana mungkin kesadaran hukum meningkat jika untuk antre saja kita tidak bisa tertib. Kita seakan sudah lupa bahwa perilaku buruk dinegeri ini disebabkan karena rusaknya moral.
Entah mengapa bangsa ini menjadi tidak jelas. Kita seakan tidak mempunyai jati diri. Kita mengaku bukan komunis, bukan juga kapitalis. Tapi secara perilaku kita bukan juga pancasila. Dalam pengamatan saya, negara kapitalis atau komunis sekalipun tidak pernah kisruh ketika melakukan antre untuk hal yang remeh-temeh, kecuali dalam keadaan bencana (terkecuali dalam kasus Jepang).
Dahulu saya memang tak begitu memahami mengapa penekanan pendidikan dan pemahaman tentang moral menjadi begitu penting. Dahulu saya tidak mengerti mengapa pembukaan Undang-Undang Dasar dan Pancasila selalu dibacakan ketika Upacara berlangsung. Sampai pada akhirnya perilaku bar-bar yang seringkali tampil menjadi sebuah jawaban tentang betapa pentingnya pendidikan moral.
Kini semua itu sudah terjawab dan menjadi begitu jelas. Inilah fakta dimana kita begitu baik diatas kertas dan begitu indah dalam retorika, tetapi kita selalu buruk dalam perilaku.

Thursday, November 24, 2011

Mungkin Sudah Ditinggalkan



Oleh: Hendrasyah Putra


Sudah dapat saya perkirakan kisruh yang akan timbul ketika hari raya Idul adha berlangsung. Kisruh yang seakan hanya sebuah pengulangan setiap tahunnya dari setiap pembagian daging kurban kiranya sudah dimaklumi oleh kita semua. Hal ini kiranya menambah daftar panjang dalam kisruh-kisruh yang terjadi seperti dalam mendapatkan BBM (bahan bakar minyak), zakat dan sembako.
Ketika kecil, saya masih ingat betul ketika guru SD (sekolah dasar) saya yang menceritakan bahwa Indonesia itu begitu terkenal didunia internasional dengan perilaku ramah, tolong-menolong dan gotong-royongnya. Kini keadaan sudah berubah. Cerita tentang perilaku ramah, tolong menolong dan gotong royong kini telah menjadi dongeng. Kini klaim atas hal itu semua digugat  dengan perilaku kita atas terciptanya kesemerautan dan kisruh yang timbul.
Budaya timur, begitulah kira-kira adagium yang akan membuat orang-orang barat dahulu menjadi segan dan kagum dengan orang Indonesia. Ketika disebut budaya timur, tentunya kata tersebut akan menimbulkan kesimpulan tentang budaya malu, ramah, saling menghormati dan tolong-menolong.
Egois, tentunya akan sangat jauh dari bayangan kita dalam sebuah konsep budaya timur. Dahulu saya sempat beranggapan sifat egois dan individualistik itu hanya cerminan dari negara-negara barat yang terkenal dengan paham liberalnya itu.
Kini anggapan saya itu telah pudar. Saya begitu kaget ketika mendengar sebuah cerita dari dosen yang juga senior saya tentang pengalamannya ketika kuliah di Australia. Dalam percakapannya dengan saya, ia menceritakan bahwa di Australia itu tidaklah begitu kental dengan individualisme.
Disana ia mendapati sebuah fenomena. Fenomena dimana barang-barang yang masa kadaluarsanya sudah hampir habis dibagikan atau digratiskan begitu saja oleh si pemilik tokoh. Tentunya hal ini begitu berbanding terbalik dengan Indonesia. Saya sendiri sering kali menemukan minuman ringan di mini market yang sudah kadaluarsa masih dipajang dalam rak-rak penjualan.
Dalam hati, saya jadi bertanya-tanya. Sebenarnya siapa yang lebih mengerti semangat akan budaya ketimuran itu? Dan bagaimana dengan paham liberal yang diteriakan oleh negara-negara barat?
Dalam tanda tanya saya itu, saya kembali dikejutkan dengan sebuah pemberitaan di media massa lokal Kal-Bar yang berjudul “Buku Dikembalikan Setelah Dipinjam 25 Tahun”.
Dalam pemberitaan tersebut diceritakan bahwa Seorang perempuan di Virginia (Amerika Serikat) mengembalikan buku yang sudah dipinjamnya sejak tahun 1986 alias 25 tahun lalu. Buku itu sendiri  dikembalikan selama ada program pengampunan. Program itu membebaskan denda bagi orang-orang yang terlambat mengembalikan buku perpustakaan. Mereka hanya diminta menyumbangkan makanan.
Hal yang menarik dalam cerita tersebut adalah Si Peminjam buku berterima kasih dengan dibuatnya program pengampunan tersebut, karena hal tersebut telah membuat rasa bersalah Si Peminjam buku hilang dan memiliki kesempatan untuk menebusnya.
Saya kira perilaku untuk menebus kesalahan sebagaimana yang digambarkan pada kisah nyata diatas tentunya patut kita acungi jempol. Hal ini menjadi begitu menarik ketika perilaku penebusan kesalahan tersebut terjadi di Amerika Serikat yang sebagaimana kita ketahui adalah negara yang menganut liberalisme.
Pada tulisan saya sebelumnya, saya seringkali membandingkan perilaku orang Indonesia dengan orang Jepang. Mungkin saya hanya melihat dari satu sisi kesamaan tentang asia dan budaya ketimurannya saja. Pada titik ini, ternyata hal-hal yang berbau ketimuran itu juga bisa muncul dengan baik dinegara-negara barat.
Mungkin kini terjawab sudah mengapa budaya malu di Indonesia ditinggalkan. Mungkin kisruh yang sering kali timbul itu dikarenkan kita lebih suka dengan individualisme dan liberalisme. Mungkin kita lebih suka semangat Pancasila itu tercermin di negara-negara liberal. Mungkin kita lebih baik dalam berwacana daripada menjalankannya. Dan mungkinkah Indonesia akan bangkit jika kita lebih senang seperti ini?

Perintah Dari Kursi Goyang



Oleh: Hendrasyah Putra

Beberapa waktu yang lalu saya mendapati sebuah fenomena yang unik tetapi kerap kali terjadi. Fenomena itu sendiri adalah dimana ketika saya melihat seorang anak umur empat tahun melawan perintah orang tua nya. Kejadian itu sendiri terjadi dimana ketika orang  tua si anak memarahinya dan kemudian si anak balik melawan dengan mengatakan ”eh mama ni marah-marah jak”. Aksi saling jawab pun berlanjut, orang tua si anak pun berbicara dengan nada tinggi seraya mengatakan ”siape yang ngajarkan kau ni, ngelawan orang tua ngomong, comel kau ni”.
Tentunya orang tua mana yang tak jengkel jika perintahnya dilawan. Bagi saya peristiwa ini tidak aneh. Saya malah mencurigai peristiwa tersebut. Dalam hati saya mengatakan, sepertinya ada yang tidak beres dalam ke jadian tersebut. Bagaimana mungkin seorang anak umur empat tahun bias memberikan perlawanan terhadap orang tuanya? Perilaku siapa yang ditiru anak tersebut kalau bukan orang terdekat dan setiap hari dilihatnya?
Peristiwa diatas mengingatkan saya ketika melihat seorang anak yang menerima perintah untuk belajar dan pergi sholat fardhu ke mesjid. Anak itu selalu menggerutu ketika menerima perintah itu. Umumnya, orang dewasa tentunya mengerti jika perintah sholat fardhu berjamaah ke mesjid itu baik. Tetapi apa yang terjadi pada anak tersebut adalah sebaliknya, anak tersebut malah mempertanyakan perintah untuk pergi ke mesjid. Anak tersebut menanyakan mengapa harus dia yang pergi, tetapi yang memerintahkan tidak ikut serta ke mesjid?
Tentunya pertanyaan itu dengan sangat mudah untuk dibantah dan dipatahkan oleh orang tuanya. Anak tentunya tidak memiliki otoritas untuk memaksa sekalipun benar. Disisi lain orang tua terkadang gengsi, dan memberikan  ”pembenaran” atas perintahnya itu walau tidak disertai dengan tindakannya.
Saya sendiri sangat tidak setuju dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa ”anak kecil itu polos”. Bagi saya, anak kecil itu tidak polos, anak kecil juga sama halnya dengan manusia pada umumnya. Mereka juga bisa berpikir, juga bisa merasakan kesal, senang dan tentunya juga bisa bertanya-tanya dengan ketidakadilan atau ketidaknyamanan yang diterimanya.
Apakah baik perintah untuk belajar kita keluarkan ketika kita sendiri dalam keadaan duduk santai dan sambil menonton televisi? Bagaimana mungkin perintah itu dengan baik bisa diterima si anak jika kita juga tidak ikut serta menumbuhkan iklim keilmuan itu sendiri?
Saya jadi teringat ketika bertemu dosen saya pada hari sabtu yang lalu. Dosen dan juga senior saya ketika masih duduk di bangku kuliah ini memang menjadi tempat yang enak bagi saya untuk bertukar pikiran. Dalam pertemuan itu, kita saling sharing dan bercerita tentang pengalaman masing-masing.
Dalam pertemuan itu akhirnya kami bercerita tentang OSPEK tahun 2006 yang pernah diselenggarakan oleh angkatan saya. Ketika tahun 2006 kebanyakan angkatan saya yang masuk kuliah tahun 2002 sudah banyak yang menyelesaikan perkuliahannya.
Kami memang belum menerima ijazah dan menjalani proses wisuda. Karena secara kebiasaan di kampus yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk melaksanakan ospek tersebut adalah angkatan yang sudah berkuliah minimal empat tahun, maka secara otomatis penyelenggaraan ospek menjadi tanggung jawab angkatan kami.
Ketika OSPEK itu dilaksanakan, saya sendiri tidak ikut serta dalam kepanitiaan dan proses OSPEK itu sendiri. ketika OSPEK berlangsung, saya sendiri sibuk dalam penelitian indeks prestasi korupsi di Kal-Bar yang dilaksanakan oleh LPS-AIR. Tentunya hal ini bagi saya lebih menarik dan bermanfaat daripada ikut serta dalam OSPEK itu sendiri.
Ketika masih di cap sebagai junior, saya juga tidak suka di OSPEK. Saya sendiri menganut prinsip untuk meninggalkan hal-hal yang banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Prinsip ini juga yang menjadi penyebab saya tidak akan melakukan hal serupa kepada manusia lainnya (khususnya kepada junior-junior saya di kampus). Bagi saya hal ini adalah suatu bentuk pembuktian integritas dan niat akan membaikan kampus itu sendiri. Bagi saya, sangat aneh jika kita dahulu yang tidak suka dan melawan kala di OSPEK tetapi kita juga senang melakukan hal serupa pada orang lain.
Kembali kepada proses OSPEK itu sendiri, saya mendapati cerita yang “menggelikan” dan begitu unik dari sahabat saya Jamil. Ia menceritakan ketika teman-teman angkatan berteriak dan bertanya kepada seorang mahisiswi baru tentang definisi hukum.
Diluar dugaan, mahasiswi baru ini bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan baik. Menurut si mahasiswi ”hukum itu tidak dapat didefenisikan”. Seketika itu senior yang memberikan pertanyaan itu sontak terdiam. Menggelikan bagi saya, seorang senior terdiam dan tidak bisa memberikan penjelasan yang lebih baik tentang hukum kepada juniornya.
Untungnya ketika peristiwa itu terjadi Jamil langsung menghandle hal tersebut agar senior dan juga panitia tidak kehilangan mukanya. Saya begitu kenal dan akrab dengan Jamil. Tentunya seorang mahasiswi baru tersebut bukanlah lawan yang sepadan jika perdebatan atau diskusi tentang hukum itu dilakukan dengan seorang Jamil.
Saya sampai saat ini masih sering tertawa terpingkal-pingkal ketika saya dan Jamil berbicara tentang hal itu. selain lucu dan menggelikan, bagi saya peristiwa itu sendiri menggambarkan bahwa seorang senior tidak menggambarkan sikap dan perilaku yang pantas bagi seorang senior.
Bagi saya, jauh panggang dari api jika kita ingin memajukan kampus, tetapi seniornya berperilaku seperti itu. otoritas yang ada bukanlah untuk menindas dan menyakiti junior. Tentu akan lebih baik dan bermanfaat jika otoritas itu digunakan untuk membaikan kampus dengan cara memberikan bimbingan dan membantu menciptakan iklim keilmuan di kampus.
Mungkin ada baiknya kita melihat kenapa orang Jepang terkenal bertanggung jawab dan mempunyai rasa malu yang tinggi serta memiliki pengkaderan yang baik terhadap generasi mudanya. Dalam tulisan kali ini saya kembali mengutip artikel yang ditulis Sapto Nugroho yang berjudul ”Pekerjaan Adalah Istri Kedua”.
Dalam tulisannya, ia menceritakan bahwa ”dunia kerja di Jepang ada yang disebut “Senior” dan “Junior”.  Senior disebut “Senpai”, dan junior disebut “Kohai”.  Dimana-mana mungkin juga berlaku kalau junior harus menghormati senior. Akan tetapi di Jepang selain itu yang menonjol adalah bahwa Senpai punya tanggung jawab mendidik Kohai.  Di saat bawahan harus tinggal di kantor (menginap di kantor), maka atasan/senior-pun ikut bersama.  Kesalahan junior menjadi tanggung jawab senior.  Maka sering kali terjadi seorang menteri di Jepang mengundurkan diri karena ada kesalahan bawahannya atau staff-nya.  Jadi sering kita jumpai yang salah bawahan tapi yang meminta maaf di depan umum adalah atasannya.
Pada titik ini saya berfikiran bahwa wajar saja Jepang bisa begitu cepat bangkit dari keterpurukan seusai perang dunia kedua. Bagi saya cerita diatas cukup jelas untuk menjawab kenapa Jepang bisa bangkit begitu cepat dari keterpurukan.
Saya kira alasan bahwa feodalisme dan benih korupsi yang ditinggalkan Belanda hanyalah menjadi ”alasan banci” dari keburukan di Indonesia. Bagi saya, kita termasuk orang yang merugi jika kita tidak bisa belajar dari sejarah. Hemat saya, untuk membaikan Indonesia bukan hanya berhenti pada niat baik. Menjadi lebih penting adalah manifestasi dari niat baik tersebut dalam bentuk tindakan yang membaikan Indonesia.
Saya memang sering kali dikecewakan oleh perilaku orang Indonesia yang mngkritik dan mengutuk atas segala keburukan yang ada, tetapi ketika ditawarkan ”jalan pintas” untuk mencapai posisi atau kualifikasi tertentu, orang tersebut dengan senag hati melakukannya. Bukankah menjadi ironi jika suatu proses yang haram, yang tidak jujur menjadi alasan pembenar untuk membaikan negara ini?

Wednesday, November 23, 2011

BUKAN SAKITNYA TAPI SEBABNYA



Oleh: Hendrasyah Putra

Sudah bosan rasanya ketika saya mendengar keluhan masyarakat tentang berbagai hal buruk yang muncul di negeri ini. bagi saya hal ini sama halnya dengan manusia yang mengeluhkan sakitnya yang tak sembuh-sembuih kepada seorang dokter.
Sakit, siapapun pasti mengeluh kalau dirinya sakit. Tapi apakah hanya sebatas sakit saja yang kita keluhkan dan membiarkan sakit itu datang lagi dan lagi? Tentu bagi manusia yang berfikir hal ini memicunya untuk mencari tahu apa yang menyebabkan dirinya sakit.
Bagi manusia yang berfikir, mencari sebab dari sakit yang dideritanya akan menjadi lebih penting agar si manusia itu dapat menghindari dari penyakit yang sama. Bukankah hal yang seperti ini sebenarnya sudah sering kali kita dengar dengan istilah “lebih baik mencegah dari pada mengobati”.
Jika boleh saya andaikan bahwa obat itu adalah peraturan dan yang menjadi penyakit itu adalah segala keburukan, maka akan timbul sebuah tanda tanya besar. Tanda Tanya dimana obat yang telah di berikan kepada si penderita sakit sudah begitu banyaknya tetapi sakitnya tidak sembuh-sembuh juga.
Saya makin prihatin ketika membaca sebuah pemberitaan di surat kabar yang berjudul “Kasus Korupsi Makin Banyak, KPK Butuh Penyidik dan Jaksa”(www.republika.go.id). Dalam pemberitaan tersebut diceritakan bahwa ketua KPK memberitahukan tentang penambahan personil di KPK  disebabkan karena begitu banyaknya jumlah kasus korupsi di Negeri ini.
Saya sendiri sebenarnya bingung dengan timbulnya fenomena diatas. Idealnya dengan dibentuknya KPK harusnya kejahatan yang luar biasa itu (korupsi) semakin berkurang. Timbul pertanyaan di benak saya, mungkin KPK bukanlah obat atau penangkal yang cukup mujarab bagi penyakit yang kita sebut dengan kejahatan luar biasa itu. Atau mungkin KPK belumlah cukup luar biasa untuk menandingi kejahatan luar biasa itu.
Rasanya hati ini semakin hilang harapan, mungkin hal ini disebabkan gara-gara kebiasaan saya yang selalu mengikuti acara reportase setiap hari Sabtu dan Minggu sore. Acara tersebut sendiri berisikan tentang kecurangan atau kejahatan yang dilakukan oleh Si penjual makanan dengan menambahkan zat berbahaya pada makanan yang dijualnya. Setiap kali saya menonton acara tersebut, saya tak habis pikir, kenapa mereka begitu tega melakukan kejahatan terebut. Dan yang lebih menyakitkan adalah, manusia yang menyakiti itu sadar dan mengetahui jika perbuatannya itu salah.
Dengan alasan orang lain juga seperti itu (sesama penjual makanan) maka cukuplah hal itu menjadi alas an pembenar bagi Si manusia jahat itu untuk melakukan aksinya. Bagi saya hal ini sangat mengerikan. Mengerikan dimana sebagian besar yang menjadi korban dari perbuatan jahat mereka itu adalah anak-anak Indonesia.
Bagaimana mungkin bangsa ini akan menjadi baik jika anak-anak yang menjadi  generasi penerus bangsa di rusak oleh orang-orang tua di negeri ini. Mungkin inilah yang pernah di ramalkan oleh Bung Karno, dahulu Ia pernah mengatakan "Perjuanganku lebih mudah karena melawan panjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”.
Saya tidak habis pikir jika melihat kasus korupsi dan kasus makanan yang mengandung zat berbahaya itu. Tidak habis pikir dimana pelaku korupsi itu sendiri didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi atau sudah berkecukupan, sedangkan pelaku penjual makanan yang mengandung zat berbahaya itu didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan rendah serta memiliki penghasilan yang pas-pasan.
Bangsa ini selalu mengeluh sakit. Selalu saling menuding. Dan selalu saling menyalahkan. Pada titik ini saya melihat bangsa kita hanya berkutat dengan sakit nya saja. Sepertinya kita lebih senang jika terus mengeluh “sakit” daripada mencari apa yang menyebabkan sakit itu sendiri.
Saya sangat prihatin sebenarnya dengan keadaan seperti ini. keadaan dimana kita lebih mementingkan untuk merubah sistem (struktur) dan mencetak sebanyak-banyaknya peraturan (substansi) yang mengatur sampai ke titik sel sekalipun. Inilah yang saya katakan bahwa kita sibuk dengan pembuatan obat daripada melakukan mencari tahu sebab dan melakukan pencegahan.
Tanpa kita sadari pembuatan obat yang diperentukan untuk melawan segala penyakit yang diderita bangsa ini menjadi sia-sia. Menjadi sia-sia dimana bangsa ini selalu mengeluh kesakitan karena penyakit yang dideritanya itu semakin mengganas. Kenapa saya katakana mengganas? Mengganas disini saya maksudkan dalam perilaku orang Indonesia yang “doyan mengakali” peraturan dan sistem yang telah dibuat itu.
Perilaku seperti ini (doyan mengakali) bukan lagi tend to corrupt, tetapi sudah pasti corrupt absolutely. Dalam titik ini, saya melihat ada sesuatu yang telah ditinggalkan bangsa ini. dan hal itu sebenarnya sangat sangat penting.
Kita telah melupakan yang namanya kultur. Kita secara perilaku sudah menghapuskan yang namanya gotong-royong, tolong-menolong dan saling mnghormati. Selama ini kita hanya terfokus untuk membuat dan memperbaiki substansi (peraturan) dan struktur (sistem), tetapi kita lupa betapa pentingnya untuk terlebih dahulu memperbaiki kultur (moral).
Bagi saya, rusaknya moral adalah sumber dari segala terciptanya keburukan di negeri ini. saya kira dana otonomi khusus yang tidak memberikan dampak kesejahteraan dan kemajuan pada kasus di Papua cukup memberikan jawaban kenapa rusaknya moral menjadi sumber dari terciptanya keburukan itu.
Bangsa ini saya kira tidak ada pilihan lain selain memperbaiki moralnya terlebih dahulu, dan itupun jika kita memang serius hendak memajukan negeri ini.  
Mungkin ada yang beranggapan hal ini sangat berat untuk dilakukan. Saya pun sering kali mendapat cibiran dan cercaaan ketika saya mengatakan memperbaiki moral itu utama. Saya sendiri meyakini hal itu, bukankah dahulu Rasulullah SAW turun ke bumi untuk memperbaiki moral terlebih dahulu, bukan struktur atau substansi. Bagi saya hal yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk membaikan negeri ini adalah dengan memperbaiki diri kita terlebih dahulu. Dan bukankah mengetahui sebabnya dan mencegahnya akan lebih baik daripada mengobatinya? (*Pontianak Post, 22 November 2011)


BUKU IKHLAS



Oleh: Hendrasyah Putra

Biaya administrasi pak, begitulah kira-kira gambaran yang sering kali saya temui jika berurusan dengan pelayanan publik di negeri ini. Mungkin pepatah tentang ”tak ada makan siang yang gratis” itu telah mengilhami sektor pelayanan publik di negeri ini.
Komisi Omdusman, mungkin inilah jawaban dari ketidak-tuntasan dan buruknya pelayanan publik di negeri ini. Bagi saya, dalam konteks Indonesia kekikinian memang komisi ini diharapkan dapat mendorong perbaikan pelayanan publik.
Dalam pengamatan saya, spanduk yang bertuliskan ”profesionalisme” atau tulisan ”anti gratifikasi” hanya menjadi pemanis yang menghiasi beberapa sudut kantor. Dalam pada itu, kreatifitas untuk mengakali peraturan atau pengkhianatan terhadap isi dari tulisan spanduk atau sumpah sebagai pelayan publik malah begitu dominan.
Kreatifitas dalam mengkhianati pelayanan publik yang baik tersebut saya jumpai ketika beberapa waktu yang lalu saya harus berhubungan dengan pemberi  pelayanan publik. Berurusan dengan pelayan publik tersebut saya memang sudah tidak lagi mendengar ucapan ”biaya administarsi pak”, tetapi saya malah menumakan modus baru. Modus baru itu sendiri adalah “buku ikhlas”. 
Untuk lebih jelasnya, berikut saya akan sedikit menceritakan pengalaman saya kepada pembaca sekalian tentang buku ikhlas tersebut. Ketika urusan pelayanan publik telah diselesaikan dan berkas-berkas yang saya butuhkan telah saya terima, saya agak sedikit kaget ketika diberikan sebuah buku tulis. Maka munculuah sebuah percakapan singkat diantara kami ”buku apa ini Bu” tanya saya ke si pelayan publik. Si Pelayan publik itu pun menjawab ”ini buku ikhlas, terserah anda mau ngisinya berapa, namanya juga buku ikhlas”.
Memang saya akui bahwa unsur paksaan tidak disampaikan secara tertulis ataupun secara langsung. Tetapi yang saya rasakan adalah paksaan secara “psikis” (melalui mimik wajah, intonasi suara dan perilaku si pelayan publik) yang ”memaksa saya” mengisi atau membayar sejumlah Rupiah untuk mengisi buku ikhlas tersebut.
”Menyedihkan”, mungkin kata tersebut cukup sopan untuk mengungkapkan perasaan saya terhadap pelayanan yang diberikan kepada warga negaranya.
Terbesit dipikiran saya, apakah begitu kecil gaji yang diperoleh si pelayan publik? Ataukah ada unsur-unsur lain yang ”begitu kuat” mendorong perilaku tersebut? Jika ada, maka kekuatan apa yang mendorong perilaku tersebut?
Jika kita berbicara masalah gaji yang kecil yang menjadi pemicu hal tersebut, saya pikir alasan tersebut tidak logis. Dalam permasalahan ini, saya sendiri lebih meyakini hal ini disebabkan oleh unsur-unsur lain.
Penyakit hati seperti Iri, dengki, rakus dan tidak malu hal inilah yang saya duga menjadi pendorong timbulnya perbuatan tersebut. Senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, bagi saya istilah ini cukup tepat untuk menggambarkan perilaku pelayan publik di negeri ini.
Agar lebih berimbang, penting bagi saya untuk mengetahui pandangan atau alasan pembenar perbuatan meraka itu. Secara tidak langsung ketika saya berbicara kepada beberapa teman yang juga bekerja sebagai pelayan publik tersebut saya mendapat pandangan yang lain dari sisi mereka.
Alasan dimana gaji yang didapat tidak mencukupi biaya hidup sehari-hari, kemudian ditambah lagi bagi pihak-pihak yang membutuhkan layanan tersebut dianggap kedepannya akan mendapatkan ”penghasilan yang besar” sehingga jika diberikan biaya tambahan yang menurut si pelayan publik ini tidak akan mempengaruhi keuntungan bagi pihak-pihak yang membutuhkan layanan tersebut.
Selain alasan diatas, saya juga mendapati alasan dimana untuk membeli gula dan kopi dikantor yang menurut mereka tidak ada anggaran dalam DPA/DIPA sehingga hal tersebut dibebankan kepada warga negara yang membutuhkan pelayanan publik tersebut.
Dalam tulisan ini, secara pribadi saya ”terpaksa” melakukan generalisir terhadap perilaku pelayan publik di negeri ini. Saya sendiri menyadari dan tentunya pernah mendapati ”oknum pelayan publik” yang memiliki integritas dan dedikasi terhaadap apa yang sudah menjadi tugas dan kewajibannya. Dalam kesempatan ini saya hanya bisa mendoakan oknum-oknum tersebut agar tetap bisa bertahan ditengah-tengah rusaknya moral pelayan publik di negeri ini.
Diatas saya sengaja mengutip sebuah gambar dari tulisan Sapto Nugroho yang berjudul ”Pelayanan Tuntas : Suara Itu sudah Tidak Ada Lagi”. Gambar itu sendiri adalah sebuah kantor yang digunakan petugas Jepang di seksi pengamanan bencana untuk memberitahukan keadaan-keadaan atau informasi yang terkait dengan bencana.
Dalam tulisan tersebut, Sapto Nugroho menceritakan dua orang petugas yang bekerja di seksi pengamanan bencana tersebut tetap memberikan pengumuman hingga sampai suara mereka yang biasa terdengar di radio hilang bersama terpaan gelombang tsunami.
Dalam kesempatan ini saya begitu terharu dengan perkataan Hiromi yang merupakan salah seorang istri petugas pengamanan bencana tersebut. Dalam kutipan artikel Sapto Nugroho itu, Hiromi mengatakan  “Setiap saya makan makanan hangat atau tidur dengan slimut hangat saya merasa kurang enak karena kamu tidak ada, tapi suaramu menyelamatkan banyak orang, engkau melakukan tugasmu dengan baik”.
Apa yang diungkapan Hiromi diatas memang ungkapan persaan sedih karena ditinggal sang suami. Tetapi disisi lain ungkapan tersebut juga menggambarkan rasa hormat dan kebanggaan atas apa yang telah dilakukan oleh sumainya.
Mereka memang harus membayar mahal atas dedikasi tersebut dengan nyawa. Tetapi lihat apa yang terjadi selanjutnya. Begitu banyak orang-orang Jepang yang bisa terselamatkan atas pemberitaan yang di lakukan oleh petugas tersebut. Saya begitu menaruh hormat atas tindakan orang Jepang tersebut yang dilakukan tanpa ”biaya administrasi” ataupun ”buku ikhlas”.
Bagi saya, inilah salah satu contoh perbuatan dilakukan karena ”ikhlas” dalam melaksanakan pelayanan publiknya dan ”ikhlas” untuk memberikan pengabdian kepada negara. Harusnya perbuatan seperti inilah yang dicatat ke dalam ”buku ikhlas”, bukan sejumlah Rupiah atau sebungkus rokok.

Anak Lebih Dulu



Oleh: Hendrasyah Putra

Sampai saat ini masih sering terlintas dipikiran saya video anak yang ditabrak di China. Mengerikan, mungkin itulah kira-kira kata yang pantas atas peristiwa yang menimpa anak itu. Dalam kesempatan ini baik kiranya kita sebagai sesasama manusia mendoakan anak kecil tersebut agar bisa kembali sehat seperti sedia kala.
Berbicara tentang anak, tentunya setiap pasangan suami-istri pasti sangat menantikan kehadiran si anak. Ada yang berharap bahwa dengan kehadiran anak diharapkan dapat meneruskan garis keturunan dan ada juga yang berharap si anak diharapkan dapat meneruskan cita-cita orang tuanya dan bisa mengubah peruntungan keluarganya. Bagi saya, alasan apapun itu tentunya jika didasarkan atas niat baik tak perlu kita permasalahkan.
Ketika kita berbicara tentang masa depan suatu negara, menjadi penting tentunya untuk kita berbicara tentang tumbuh dan kembang anak di negara tersebut. Dipikiran saya terbesit pertanyaan tentang bagaimanan dengan anak Indonesia yang dipundaknya secara serta-merta dibebani tanggungjawab untuk memajukan Indonesia dikemudian hari?
Saya jadi teringat dengan kritikan Sujiwo Tejdo yang juga seorang budayawan. Ia sempat mengkritisi banyaknya intensitas sinetron yang menghiasi layar kaca televisi. Baginya hal itu sangat memberikan dampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Ia sendiri memberikan gambaran pembanding tentang jam tayang sinetron di Jerman. Di Jerman, jam tayang sinetron di tayangkan pada jam anak-anak sudah tidur. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan kondisi jam penayangan sinetron di Indonesia.
Kritik yang disampaikan sang budayawan mengingatkan saya kembali pada sebuah artikel di media massa nasional yang menceritakan pendidikan terbaik itu di Finlandia. Dalam artikel tersebut di ceritakan bahwa Finlandia mempunyai aturan yang mewajibkan pemberian ASI (air susu ibu) selama dua tahun kepada anaknya. Selain itu, pemerintah Finlandia memberikan cuti dua tahun bagi sang ibu dan satu tahun bagi sang ayah.
Pada titik ini saya jadi teringat dengan jargon Israel “sumber daya manusia kami adalah sumber daya alam kami”. Tentu jargon ini bukan sekedar isapan jempol belaka. Di dunia internasional kita seakan sudah makfum dengan kepintaran orang Israel dan penemuan-penemuan mutakhirnya.
Sebenarnya saya sendiri bertanya-tanya mengapa orang Israel bisa begitu pintar? Dalam pencarian saya, akhirnya saya menemukan sebuah artikel di dunia maya yang berisikan penelitian seorang Doktor yang meneliti hal tersebut. Penelitian itu sendiri ia lakukan selama lima tahun di Israel. Dari hasil penelitiannya, didapati bahwa dimana ibu hamil di Israel ternyata sering mengerjakan soal mate-matika, mengkonsumsi vitamin yang cukup dan tentunya yang sangat menarik adalah mereka (ibu hamil) akan mengusir tamu yang merokok dirumahnya!
Saya mungkin bukanlah seorang ahli genetika atau dokter anak. Tetapi saya hanya ingin tahu apakah memang benar pendidikan anak yang dilakukan sejak dini (dalam kandungan) itu memang memberikan pengaruh yang baik? Tetapi bagaimana mungkin? Tanda tanya ini kiranya menjadi pemicu saya untuk mencari lebih dalam lagi.
Pencarian kembali saya lanjutkan. Dalam pencarian saya, saya menemukan artikel yang sangat unik. Artikel itu sendiri berisikan tentang seorang anak di Iran yang sudah hafal al-qur’an di usia yang cukup muda. Karena hafal al-quran di usia yang masih muda (dibawah lima tahun) tentunya hal ini memancing rasa ingin tahu semua orang (termasuk pula pemimpin tertinggi Iran). Ketika ayahnya diwawancarai oleh wartawan, ayahnya dengan sangat singkat dan lugas menjawab “wajar saja, umi-nya hafal al-qur’an”.
Mungkin agak sulit untuk diterima dan diterapkan di Indonesia, tetapi begitulah negara-negara maju mempersiapkan generasi mudanya. “Anak lebih dulu”, saya kira menjadi hal yang utama jika kita memang serius ingin menjadikan negara ini maju.
Pada akhirnya untuk lebih meyakinkan pembaca, diatas saya sengaja mengutip hasil gambaran seorang anak umur dua tahun di Jepang. Gambar itu sendiri saya ambil dari artikel yang ditulis oleh Sapto Nugroho yang berjudul “butuh:relawan remaja”.
Dalam artikel itu ia menceritakan bahwa si anak yang tidak mau berpisah jauh-jauh dari ibunya. Ada trauma waktu melihat air laut hitam yang menghanyutkan rumah, mobil dan barang-barang lainnya.  Oleh ibunya, untuk mengisi waktu di tempat pengungsian, anaknya diberi kertas gambar dan beberapa pensil dengan macam-macam warna.  Sebelum terjadi gempa dan tsunami, anaknya suka menggambar dengan warna-warna yang terang dan cerah.  Akan tetapi di tempat pengungsian ini, ibunya agak kaget karena anaknya hanya menggambar dengan pensil warna hitam saja. Apa yang di gambar si anak adalah gambar ombak air dan gunung.  Dalam pikiran si anak masih tersimpan sekali ingatan akan tsunami ini. Dalam kasus ini, terlihat bahwa seorang anak begitu mudah mengapresiasikan apa yang dilihatnya.
Dari semua penelusuran yang saya lakukan diatas tergambar bahwa generasi penerus bangsa mulai dibangun sejak dini (dalam kandungan). Disisi lain juga menjadi penting untuk diperhatikan apa yang menjadi asupan yang diterima oleh si Ibu ketika hamil. Tontonan dan bacaan yang berkualitas tentunya menjadi sangat penting. Dari penelusuran itu, didapati juga bahwa anak (balita) sangat mudah sekali terpengaruh dengan lingkungannya seperti apa yang terjadi pada kasus anak di Jepang. Tontonan yang berkualitas, perilaku orang tua yang baik dan pengenalan sejak dini tentang ke ilmuan tentunya akan sangat membantu untuk mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Mungkin jika kita mulai berhenti memberikan asupan makanan dari hasil yang buruk (haram), saya yakin Indonesia tidak akan seperti sekarang ini. Saya sendiri sebenarnya sangat begitu berharap agar anak-anak Indonesia dimasa datang tidak menggambar uang dan tikus sebagaimana dengan apa yang terjadi dengan cerita anak orang Jepang diatas. Dan Bukankah buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya?

Inilah Kita


Oleh:Hendrasyah Putra

Kita tentunya sudah tak sabar menanti kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah Kota Pontianak dalam mengatasi kemacetan yang mulai datang menghantui. Menambah jalan, melebarkan jalan, membuat jalan layang dan membangun jembatan kapuas yang baru, mungkin itulah kira-kira isu yang menjadi opsi dalam penyelesaian masalah kemacetan.
Patung Pak Polisi adalah saksi bisu kesemerautan lalu lintas yang sering tampak disimpang lampu merah Imam bonjol dan Jalan Pahlawan. Sepanjang pengalaman saya berkendara sepeda motor di jalan-jalan Kota Pontianak, padamnya lampu pengatur lalu-lintas biasanya menimbulkan kesemerautan.
Ketika lampu lalu-lintas padam, disitu terlihat masyarakat berlomba-lomba menarik gas kendaraannya untuk berebut jalur yang menjadi tujuannya. Saya hanya berfikir, mungkinkah ini cerminan yang sesungguhnya dari masyarakat kita?
Saya jadi teringat ketika menonton pemberitaan ditelevesi yang mengabarkan kemacetan di Jakarta. Disitu para pengamat mengkritisi kebijakan pemerintah DKI yang hendak membatasi kepemilikan kendaraan berotor. Alasan dimana masyarakat yang membayar pajak dirugikan karena hak untuk memiliki kendaraan pribadi dibatasi menjadi tembok bagi kebijakan itu.
Disisi lain para pengamat juga mengkritisi mudahnya mendapatkan kendaraan bermotor melalui jalur kredit. Tanpa disadari kemudahan kredit kendaraan bermotor yang mengakomodir pola konsumtif orang Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan. Ironi memang, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris bahkan masyarakatnya lebih mudah mendapatkan kredit kendaraan bermotor daripada kredit pertanian.
Kemacetan lalu-lintas memang bukan hanya menjadi masalah di negara kita. Dalam sebuah buku yang berjudul Biarkan Hukum Mengalir dan beberapa buku yang merangkum kumpulan artikel almarhum Prof Satjipto Rahardjo, beliau pernah menceritakan kemacetan yang terjadi di Amerika Serikat Sekitar Tahun 60-an.
Dalam artikel itu, beliau menceritakan kemacetan yang terjadi di New York, dimana Kota New York terancam tak bisa bergerak karena jalan-jalannya dipadati oleh kendaraan bermotor. Kemacetan itu sendiri secara umum disebabkan oleh meningkatnya jumlah kepemilikan kendaraan pribadi.
Three in one, seperti apa yang kini diterapkan di jalan-jalan tertentu di Jakarta juga diterapkan di New York. Disini mulai muncul kekuatan masyarakat untuk mendobrak permasalahan bersama itu. Dalam hiruk-pikuk kota yang tidak pernah tidur itu munculah Slugs.
Slugs sendiri adalah kumpulan orang-orang Amerika yang ingin berangkat bekerja tetapi tidak menggunakan kendaraan pribadi, mereka beramai-ramai duduk di cafe tepi jalan untuk menanti tumpangan mobil pribadi dari orang amerika lainnya yang berangkat kekantor menggunakan mobil pribadi. Begitulah cara orang Amerika menyelesaikan permasalahan kemacetan di New York.
Lain lubuk lain belalalang, lain lubuk lain pula ikannya, begitulah kira-kira kata pepatah. Di Jakarta ketika Three in one diterapkan ada fenomena baru yang timbul, fenomena dimana joki three in one bermunculan untuk mengakali aturan three in one itu sendiri. Mungkin inilah cara orang Indonesia menyelesaikan permaslahan kemacetan. Alih-alih menyelesaiakan permasalahan tetapi malah yang  muncul adalah mengakali aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Saya sendiri agak kurang setuju jika kita terlalu menyalah-nyalahkan pemerintah dan Polantas ketika terjadi kemacetan. Agak kurang fair rasanya ketika kita membenturkan hak asasi sebagai warga negara yang telah membayar pajak dengan hak untuk menggunakan kendaraan pribadi dan jalan.
Mungkin tidak berlebihan ketika saya coba kutip gambar diatas, diamana gambar itu diambil ditengah-tengah bencana yang menimpa Jepang. Disitu tergambar dimana orang Jepang membuat antrean untuk mengambil makanan dan minuman yang digratiskan oleh pemilik toko. Gambaran ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi dimana ketika adanya pembagian zakat atau sembako gratis di Indonesia, niat luhur ingin menolong sesama malah menimbulkan bencana baru.
Jikalau kisruh pembagian zakat dan pembagian sembako gratis mencerminkan kesemerautan masyarakat menengah kebawah,  maka bolehlah kiaranya saya katakan jika kemacetan lalulintas itu cerminan dari kesemerautan masyarakat menengah keatas. Secara pribadi saya memang tidak terlalu berharap akan muncul kekuatan dalam masyarakat untuk membaikan kesemerautan itu. Mungkin kita lebih suka dengan kesemerautan itu, mungkin itulah kita adanya.

Menipu Diri Sendiri



Oleh: Hendrasyah Putra

Beberapa waktu yang lalu saya sempat merasa bingung ketika menemui fenomena dimana 50 warga Singkawang yang menyatakan dirinya ditipu oleh Calo CPNS. Pada artikel sebelumnya, saya mengkritisi perilaku tersebut dan mengatakan bahwa sebenarnya yang ingin menjadi penipu itu adalah mereka sendiri dengan jalan penyuapan yang diperantarai Calo CPNS.
Sampai saat ini, saya masih kukuh pada pendapat saya tentang keterpurukan indonesia itu karena ketidak seriusan kita dalam membaikan negara ini. Dalam pengalaman saya, sering kali saya menemukan alasan bertahan hidup, main aman, tidak bisa melawan arus dan sudah terjamin masa depan dijadikan alasan  pembenar untuk mencapai tujuan.
Mungkin perilaku seperti itu akan memancing sebagian orang untuk mengatakan perilaku itu adalah oportunis atau pragmatis. Tetapi bagi saya hal itu lebih tepat untuk dikatakan sebagai perilaku menipu diri sendiri. Mengapa saya katakan menipu diri sendiri? Karena tindakan mereka itu merugikan diri sendiri dan Indonesia kedepannya.
Keanehan kian muncul ketika masyarakat yang turut serta dalam membidani dan melahirkan kejahatan itu juga turut serta mengibarkan bendera perlawanan terhadap segala keburukan yang timbul dengan cara mengutuk segala perbuatan itu. Bagi saya hal ini cukup ironi, dimana masyarakat memainkan dua peran sekaligus, yakni sebagai aktor protagonis dan antagonis.
Berdasarkan pengalaman diatas, Saya tidak begitu terkejut ketika membaca berita di harian equator yang berjudul ”Kasus polemik penurunan pasangan Nasir-Agus, telah berakhir”(29/09/11). Bagi saya, masyarakat mempunyai andil besar dalam kasus politik uang yang terjadi dalam perhelatan pemilukada itu. Jikalau masyarakat tidak menerima bantuan yang berbentuk barang atau uang tersebut saya yakin politik uang tersebut tidak bisa dilakukan.
Mungkin masyarakat telah lupa dengan alasan ditetapkannya pemilihan langsung. Sekedar mengingatkan, salah satu alasan utama pemilukada langsung itu adalah agar mereka yang terpilih benar-benar telah melalui proses seleksi dari bawah karena prestasi moral, intelektual, dan pengabdiannya pada masyarakat selama ini.
Saya rasa gagasan mulia ini sulit terwujud mengingat masyarakat sendiri turut serta dalam menumbuh-kembangkan politik uang. Alih-alih berteriak tentang rindu akan sosok pemimpin yang amanah dan anti keculasan, tetapi dalam perhelatan pemilukada yang terjadi adalah sebaliknya.
Disinilah terlihat bahwa kita memang tidak serius untuk membaikan negara ini. Bagi saya istilah ”terima uangnya tetapi jangan pilih orangnya” adalah salah. Hal itu hanyalah pembenar dari perilaku masyarakat dalam praktik politik uang tersebut.
Mungkin kita sudah lupa dengan pribahasa ”bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, dalam hemat saya, bersatu memang solusi terbaik untuk membaikan Indonesia. Mungkin hal ini akan memantik pertanyaannya apakah dengan bersatu kita bisa membaikan Indonesia dari keterpurukan? Saya yakin bisa! insyaallah.
Bagi saya baik buruknya negara ini memang tanggung jawab bersama. Oleh karena itu dengan cara bersama pula dalam membaikan negara ini hal itu bisa dilakukan. Mungkin akan timbul pertanyaan dihati pemabaca sekalian mengapa saya begitu percaya baiknya indonesia itu adalah tanggung jawab bersama? Dan mengapa pula saya selalu menekankan untuk merubah diri terlebih dahalu tanpa mengharapkan orang lain dan sistem berubah?
 Sesungguhnya pemikiran itu saya dapati ketika saya mencoba mengkaji Jepang pasca bencana gempa dan tsunami. Disitu munculnya istilah “ketangguhan Jepang”, istilah itu tidak serta merta berdiri sendiri, tetapi itu dimulai dari kesadaran individual untuk berbuat baik terhadap sesama.
Indonesia nya bukan tidak bisa baik seperti itu, ketika saya Ketika saya membaca artikel Sapto Nugroho yang berjudul “Dan iklan pun ikut bersama-sama”, disitu saya melihat ada kesamaan Indonesia dan Jepang dalam hal memotivasi manyarakatnya.
Dalam artikel yang dituliskan oleh sapto Nugroho itu diceritakan bahwa iklan komersial yang ditayangkan diJepang ditengah bencana itu berisikan pesan motivasi untuk bangkit dan bertindak. Ada dua pesan yang disampaikan secara tertulis dalam iklan tersebut.  [Kokoro] wa dare ni mo mienai keredo ,  [Kokoro tsukai] wa mieru” ( Dalam hati tidak satupun orang bisa melihat,  tetapi tindakan karena hati/tenggang rasa bisa terlihat ) .
 “[Omoi] wa mienai keredo, [ Omoiyari] wa dare ni demo mieru” ( Dalam pikiran/rasa tidak terlihat, tetapi  Pikiran yang diwujudkan bisa terlihat oleh siapapun ).  Perasaan yang diwujudkan.
Indonesia bukan tak ada pribahasa seperti itu, Indonesia juga memiliki pribahasa yang mencerminkan budi pekerti yang saya tak bisa sebutkan satu persatu. Jika kita menonton telivisi misalnya, sampai saat ini saya masih mendapati iklan komersial rokok yang mempunyai jargon “talk less, do more”.
Yang menjadi pembeda Indonesia dan Jepang hanyalah Indonesia hanya berhenti pada kata-kata motivasi itu saja, tetapi keberlanjutan yang diharapkan kepada tindakan tidak muncul. Dalam pengamatan saya, sebagian masyarakat kita lebih senang memainkan dua peran sekaligus (antagonis dan protagonis), mungkin hal itu bisa menguntungkan sesaat.
pada titik ini, saya sangat setuju tentang pendapat bahwa tuhan itu tidak pernah menzholimi manusia, melainkan manusia itu sendiri yang menzholimi dirinya sendiri. Saya memang tak berharap banyak masyarakat bisa berubah, bagi saya memperbaiki terlebih dahulu dan berusaha mengngatkan masyarakat dengan tulisan pendek kiranya bisa sedikit membantu.

Hanya Sebatas Baliho Dan Spanduk



Oleh: Hendrasyah Putra

Dalam pengalaman saya kesetiap kota yang pernah saya kunjungi (Jakarta-Depok-Bandung-Solo-Pontianak-Sungai Raya-Mempawah-Singkawang-Sambas-Sanggau-Sekadau-Sintang), gerbang kota (biasa juga disebut tugu selamat datang) adalah hal yang pertama kali selalu menyambut saya.
Selain menandakan batas wilayah, sekilas setiap gerbang kota yang berdiri kokoh dan cantik itu menggambarkan secara umum pengaruh budaya yang mengakar disetiap kota tersebut. Indah memang, dan seakan gerbang yang bagus itu juga menggambarkan kondisi kemajuan dan perkembengan penduduk kota tersebut.
Selain gerbang kota, ada lagi hal lain yang bagi saya cukup menarik ketika berkunjung ke kota-kota tadi.  Selogan kota adalah hal yang cukup menarik perhatian saya. Selogan BESTARI dan PERMAI misalkan, jika melihat selogan yang biasanya dituliskan dalam prasasti yang terdapat pada tugu kota itu seakan membuai kalbu, begitu indah, damai, tentram dan sejahtera kota-kota itu.
Selain gerbang dan selogan kota, ada lagi sesuatu yang sekilas menggambarkan semangat dan tekad masyarakat kota tadi. Dalam pengalaman saya, Baleho dan spanduk juga biasanya menjadi andalan untuk menenangkan hati dengan kata-kata yang indah walau terkadang hal itu menambah semeraut kota. Ketika membaca kata-kata yang ada dalam baliho dan teman-temannya itu, harapan akan keburukan di bumi Indonesia ini serasa akan diberangus dan rakyat pasti terjamin kesejahteraannya. Biasanya hal ini saya temukan ketika hari-hari besar nasional dan tentunya ketika Pemilukada akan dihelat.
Saya memang tak pernah menjelajahi seluruh kota di Indonesia, tetapi sempat terlintas dipikran saya, apakah setiap kota-kota yang ada di Indonesia seperti itu juga? Jika iya, berarti sebenarnya setiap kota mempunyai ide dan semangat luhur dalam menciptakan Indonesia yang baik. Sempat terbesit dipikiran saya, apakah benar kesamaan itu pada semangat membaikan Indonesia atau hanya pada perilaku menuliskan selogan pada prasasti kota serta dalam baliho dan teman-temannya itu?
Dalam konteks Indonesia yang kekikinian, saya jadi  teringat dengan perkataan seorang pemikir diabad ke-18, Ia mengatakan bahwa realita itu adalah kenyataan yang terbalik. Terbalik dimana selogan dalam prasasti dan baliho beserta teman-temannya itu berbanding terbalik dengan citra Indonesia yang dikenal cukup buruk dimata dunia.
Kita sudah begitu terbiasa melihat, mendengar dan membaca pemberitaan tentang keburukan atau tindakan yang tidak baik di media massa atau secara langsung di bumi Indonesia, seakan perbuatan itu sudah tidak malu-malu lagi tampil telanjang menari-nari didepan mata.
Mengutuk, mungkin itulah yang dilakukan masyarakat dalam menyikapi setiap tindakan kejahatan yang diberitakan oleh berbagai media. Dalam hati saya mengatakan, mengapa setelah sekian kali dikutuk tetapi aksi-aksi kejahatan yang menjadi sorotan dunia itu tetap saja timbul dan kian menjadi-jadi. Mungkin saya terlalu berharap dan berkhayal bahwa kutukan itu akan seperti apa yang menimpa Malinkundang.
Harapan dihati saya kian pupus ketika membaca  pemberitaan di Equator yang berjudul “Puluhan Warga Singkawang Tertipu sindikat penipuan CPNS”(Equator, 27/09/11 hal 9). Dari hati saya yang paling dalam, saya sedih atas terjadinya peristiwa ini. Bagaimana tidak sedih, sekitar 50 warga Singkawang yang melakukan persengkokolan jahat itu (bisa juga dikatakan permufakatan jahat) merasa ditipu Calo CPNS.
Saya bingung mengapa mereka merasa ditipu Calo CPNS? Bukankah sebenarnya mereka itu yang ingin menipu dengan jalan menyogok untuk menjadi abdi negara? Bukankah kita sebenarnya tahu bahwa perjanjian atau kontrak itu harus karena hal ikhwal yang baik? Bagi saya kejadian tersebut adalah kejadian yang sangat tercela, dimana 50 orang warga Singkawang itu melakukan persekongkolan jahat agar dapat duduk sebagai abdi negara.
Mengapa kasus ini saya katakan persengkokolan jahat? Hal ini desebabkan karena tindakan mereka itu dilakukan dengan sengaja untuk menjadi abdi negara dengan jalan yang jahat. Inilah sebenarnya yang membuat hati saya sedih, saya betul-betul tidak memahami apa yang ada dipikiran ke 50 warga Singkawang yang merasa ditipu itu. Sekali lagi saya tekankan, meraka itu bukan ditipu, tetapi persengkokolan jahat mereka itu gagal dilakukan.
Saya tidak bisa membayangkan jika ke 50 warga Singkawang itu berhasil dalam melaksanakan aksi persengkokolan jahatnya. Saya bisa pastikan ada 50 orang Indonesia yang baik, jujur dan punya potensi untuk membaikan Indonesia dengan jalan menjadi abdi negara akan hilang. Secara pribadi, saya juga sangat meragukan ke 50 warga Singkawang itu ketika menajdi abdi negara bisa melayani masyarakat dengan baik.
Kejadian ini bagi saya begitu ironi, ironi dimana 50 warga Singakwang yang melakukan persekongkolan jahat ini melaporkan gagalnya “niat jahat” mereka tersebut kepada Sofyan Fachri yang juga kepala BKD dan Diklat Kota Singkawang dengan alasan penipuan. Normalnya orang yang “niat jahatnya” ketahuan itu harusnya malu. Tetapi apa yang terjadi pada kasus ini malah sebaliknya dan bertindak seakan mereka itu di zholimi dengan cara di tipu oleh Calo.
Rasa malu yang biasanya ditunjukan oleh orang timur itu menjadi hilang. Saya tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Saya sendiri sadar betul opini publik tentang adanya mafia CPNS. Saya sendiri tidak membantah opini tersebut, tetapi saya ingin menanyakan kepada kita semua, kemana rasu malu kita? Apakah hati nurani kita sudah mati? Apakah mencari rejeki dengan cara jujur itu tidak bisa?
Masyarakat yang tengah kehilangan rasa malunya dan menghalalkan segala cara itu harusnya diperbaiki cara pandangnya. Meraka itu harusnya ditindak tegas dengan diberikan sanksi atas niat jahatnya itu. Bagi saya pemberian sanski itu menjadi penting sehingga perbuatan mereka ini tidak diikuti oleh masyarakat yang lain, sehingga alasan “yang lain seperti itu, mengapa saya tidak” tidak lagi menjadi pembenar atas niat dan tindakan yang salah dalam masyarakat.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Sofyan Fachri, harusnya beliau tidak mengatakan “penipuan yang dilakuan sindikat atau sekelompok orang”. Beliau harusnya menegaskan dengan mengatakan kasus ini adalah persengkokolan jahat antara penyogok (50 warga Singkawang) dan makelar/perantara (Calo CPNS) dalam mencapai tujuan penyogok untuk duduk sebagai abdi negara dengan cara melawan hukum yang gagal dilakukan.
Saya sendiri berharap pihak kepolisian cerdas melihat kasus ini. Jika kita cerdas melihat kasus ini, maka kita bisa melihat bahwa kasus ini adalah kasus suap. Kasus ini sebenarnya hampir sama halnya dengan kasus suap Wisam Atlet, dimana penyuap-nya adalah pengusaha (El-Idris), makelar/perantara adalah Mindo Rosalina Manulang dan penerima suap yang tertangkap tangan adalah Sesmenpora Wafid Muharam.  Walau dalam kasus ini tidak ditemukan penerima suap (bisa dikatakan percobaan penyuapan), tetapi yang paling penting adalah “niat jahat dan berencana” Calo dan 50 warga Singkawang itu.
Sadar atau tidak, buruknya pelayanan publik dan meningkatnya prestasi korupsi Indonesia dikancah dunia itu adalah hasil dari segala apa yang telah kita perbuat. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan kita hanya berhenti sampai pada mengutuk perbuatan jahat itu saja, tetapi kita tidak serius untuk mulai merubah diri kita untuk menjadi pribadi baik yang membaikan Indonesia dari kerterpurukan ini.
Mengapa juga saya tulis judul artikel ini hanya sebatas Baliho dan Spanduk? Hal itu dikarenakan kita hanya bisa berwacana saja, dan wacana itu hanya dituangkan dalam aksi pembutan baliho, spanduk atau pamflet saja. Kita lebih suka melihat kata-kata atau selogan anti kejahatan dan hal-hal yang membaikan Indonesia hanya tertulis diatas kain atau kertas.
Kita harusnya bertindak, bukan sibuk dengan pembuatan baliho dan teman-temannya itu serta memajangnya di penjuru kota. Bagi saya hal itu tidak berguna dan hanya menjadi pemborosan model baru. Bagi saya inilah klimaks dari ketidakseriusan kita sebagai warga negara dalam memberantas keburukan. Alih-alih mengutuk perbuatan jahat tetapi kita secara sadar turut membidani dan melahirkan perbuatan jahat dengan kedok “kami tertipu”.
Bagi saya hal terbaik yang harus dilakakukan adalah memulai bertindak untuk menghentikan semua perilaku dan niat buruk kita. Mimpi Indonesia sebagai negara yang sejahtera dan makmur itu bukan berakhir pada kata-kata yang dicetak diatas baliho, tapi mimpi itu berakhir dari sikap tindak dan keseriusan kita membaikan negara ini.