Oleh: Hendrasyah Putra
Eforia dan keributan, dua hal yang selalu berdampingan menghiasi
berbagai peristiwa di negeri ini. Bangsa ini pun seakan sudah begitu maklum
dengan keributan yang selalu timbul mengiringi sebuah eforia. Ketika eforia
masyarakat sampai pada klimaksnya terhadap pencapaian tim sepak bola Indonesia,
kisruh tentang buruknya penjualan tiket sampai dengan aksi para pembeli tiket
yang paling kuatlah yang mendapatkan tiket seakan menjadi pasangan yang begitu
serasi di negeri ini.
Berbicara masalah budaya antre, Saya jadi teringat ketika masih duduk
dibangku SD dan SMP dimana untuk masuk keruangan kelas siswa diharuskan
terlebih dahulu berbaris rapi. Guru pengajar memperhatikan dengan jeli barisan
siswa yang hendak masuk keruangan. Makin rapi dan tertib barisan, maka makin
cepat pula kami masuk keruangan kelas untuk melaksanakan kegiatan belajar
mengajar. Jika melihat pengalaman itu, saya pikir kita semuua sudah tau tentang
baiknya menjaga ketertiban dan keteraturan.
Ketika jaman orde baru, dahulu kita mengenal yang namanya penataran P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Ketika pertama kali masuk SMP,
saya masih sempat mendapatkan penataran P4. Mungkin banyak orang yang
bertanya-tanya apa pentingnya hal itu. Mungkin ketika pancasila yang pada saat
itu menjadi asas tunggal di negeri ini, menjadi suatu keterpaksaaan untuk
mengikuti penataran P4 itu.
Terlepas dari segala kontroversi tentang penerapan pancasila sebagai
azas tunggal, saya pribadi mempunyai pengalaman tersendiri ketika mengikuti
penataran P4 yang diwajibkan itu. Ketika mengikuti penataran itu, secara umum
kami diajarkan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, tolong menolong, saling
menghormati dan musyawarah mufakat.
Selain itu, kami juga diajarkan untuk membedakan mana yang menjadi hak
dan mana yang menjadi kewajiban. Dahulu saya sempat berfikir, apa pentingnya
hal itu. Ketika itu muncul pertanyaan dalam hati saya, kenapa kegiatan belajar
mengajar tidak langsung dilaksanakan? Kenapa harus bertele-tele dan kembali
diajarkan hal-hal yang dahulu pernah saya pelajari ketika SD dalam pelajaran
PMP (Pendidikan Moral Pancasila)?
Kini pertanyaan saya itu sedikit demi sedikit sudah mulai terjawab
dengan perilaku buruk bangsa ini. Kini begitu mengerikan. Degradasi moral,
itulah kira-kira yang coba saya gambarkan dari perilaku buruk yang selalu
menghiasi pemberitaan utama di televisi. Semangat akan selaras akan alam dan
semangat akan kekeluargaan kini hanya menjadi pemanis dalam iklan komersial
ditelevisi.
Dasar negara kita memang masih tetap Pancasila. Upacara hari-hari
besarpun tetap dibacakan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan pancasila. Tapi
hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan tragedi final sepak bola SEA
Games 2011yang memakan korban.
Targedi itupun menimbulkan aksi saling menyalahkan yang sering kali
dipertontonkan oleh bangsa ini. Penonton menyalahkan panitia yang tidak
profesional dalam menyelenggarakan dan tentunya panitia juga tak mau kalah, bagi panitia
kesalahan penonton yang tidak mempunyai tiket ikut antre untuk masuk ke stadion
Gelora Bung Karno sehingga menyebabkan perebutan untuk masuk kedalam stadion
menjadi semeraut dan berakhir chaos.
Saya hanya bisa mengerutkan kening dan menaikan alis ketika membaca
berita disalah satu media cetak onliane yang berjudul “Penjualan Bellagio
Ricuh, 4 Orang Pingsan, 1 Patah Tulang” (www.kompas.com).
Dalam berita tersebut, diceritakan bahwa kericuhan dalam pembeliaan alat
komunikasi itu di picu oleh gelang sebagai penanda sebagai calon pembeli yang
sah tidak berlaku lagi. Sehingga antrean yang telah dibuat pun berubah menjadi chaos
bagaikan singa dan hyna yang berebut daging hewan buruan.
Perilaku seperti ini kiranya berbanding lurus dengan meningkatnya
kebutuhan akan jasa advocat di negeri ini. Dalam artikel yang berjudul “Kebutuhan
Jasa Pengacara Meningkat di Indonesia” (www.businessnews.co.id)
diberitakan bahwa Peningkatan perkara korupsi di Indonesia yang dibawa ke
pengadilan memberi dampak multiplier effect terhadap kebutuhan jasa pengacara.
Temuan Transparency International (TI) menyebutkan IPK Indonesia menduduki
posisi ke-110 dari 178 negara yang disurvei. Dalam pemberitaan tersebut
dikatakan pula bahwa tingginya kebutuhan akan advocat menjadi sebuah indikator
tentang tingginya tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Hal seperti ini menjadi mengerikan. Menjadi mengerikan dimana apa yang
dibutuhkan bangsa ini adalah advocat yang diharapkan bisa menyelesaikan perkara-perkara
yang timbul. Dan menjadi sangat mengerikan dimana fenomena penggunaan jasa
advocat ini dinyatakan menjadi sebuah indikator tingginya tingkat kesadaran
hukum masyarakat.
Bagaimana mungkin masyarakat dikatakan sadar hukum jika masyarakat
sangat suka bersengketa. Bagamana mungkin kesadaran hukum meningkat jika untuk
antre saja kita tidak bisa tertib. Kita seakan sudah lupa bahwa perilaku buruk
dinegeri ini disebabkan karena rusaknya moral.
Entah mengapa bangsa ini menjadi tidak jelas. Kita seakan tidak
mempunyai jati diri. Kita mengaku bukan komunis, bukan juga kapitalis. Tapi
secara perilaku kita bukan juga pancasila. Dalam pengamatan saya, negara
kapitalis atau komunis sekalipun tidak pernah kisruh ketika melakukan antre
untuk hal yang remeh-temeh, kecuali dalam keadaan bencana (terkecuali dalam
kasus Jepang).
Dahulu saya memang tak begitu memahami mengapa penekanan pendidikan dan
pemahaman tentang moral menjadi begitu penting. Dahulu saya tidak mengerti
mengapa pembukaan Undang-Undang Dasar dan Pancasila selalu dibacakan ketika
Upacara berlangsung. Sampai pada akhirnya perilaku bar-bar yang seringkali
tampil menjadi sebuah jawaban tentang betapa pentingnya pendidikan moral.
Kini semua itu sudah terjawab dan menjadi begitu jelas. Inilah fakta
dimana kita begitu baik diatas kertas dan begitu indah dalam retorika, tetapi
kita selalu buruk dalam perilaku.